Selasa, 19 Mei 2020

Sekolah Petarung Versus Sekolah Ramah Anak



Judulnya sudah dibuat lama tapi belum sempat dilanjutkan. Katanya ga boleh membuat keputusan ketika sedang emosi. Soo, ditinggalkan selama berbulan-bulan untuk meredam emosi dulu. Alhasil baru sekarang dibuka dan mulai lanjut menulis.

Ini dua citra sekolah yang muncul dalam masyarakat kita. Hanya saja yang satu terbangun dari pandangan masyarakat terhadap sekolah tersebut. Dan pandangan itu tentu saja tidak muncul tiba-tiba. Darimana berasal? Jawabannya ya dari sekolah itu sendiri, perilaku siswa siswi sekolah dalam masyarakat telah memberikan pandangan tertentu, maka muncullah sekolah petarung. Seperti apa? Nanti kita bahas lebih lanjut, sekarang kita tengok dulu citra sekolah lainnya yaitu sekolah ramah anak.

Sekolah ramah anak merupakan suatu program pemerintah untuk memberikan kenyamanan kepada siswa siswi belajar di sekolah. Dengan harapan, kenyamanan tersebut dapat mempengaruhi proses belajar mereka untuk lebih berprestasi. Sekolah pun mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua standar yang diperlukan dalam program sekolah ramah anak ini. Mulai dari sarana dan prasarana hingga sumber daya manusianya. Sekolah menjadi rumah kedua bagi siswa siswi.

Akan tetapi, membangun citra sekolah ramah anak ternyata tidaklah mudah. Kita berhadapan dengan sosok remaja yang sedang mencari eksistensi dirinya dalam lingkungan sekitarnya. Sekalipun sekolah telah berusaha dengan memberikan fasilitas nyaman, lengkap, dan sumber daya manusia kompeten, tetapi siswa siswi sebagai point utama yang karakternya telah terbentuk dalam lingkungan keluarga sejak kecil. Sekian jam di sekolah tentu tidak mudah mengubah karakter siswa siswi tersebut. Apalagi jika keluarga tidak mendukung upaya tersebut dalam arti peran keluarga dalam perkembangan diri anak tidak maksimal.

Aspek ekonomi dan pendidikan yang tinggi pun tidak menjadi jaminan akan membentuk karakter seorang anak menjadi baik pula, Dalam beberapa kasus, pelaku tawuran pelajar justru datang dari keluarga yang terihat baik dan ekonomi mapan. Akan tetapi, kejanggalan terjadi ketika seorang anak masih berada di luar sampai pukul 1 malam atau bahkan jam 4 pagi jelang subuh. Buat saya itu adalah salah satu indikator betapa orangtua kurang peduli, memperhatikan anak-anaknya. Bagaimana mungkin mereka dapat membiarkan anak-anak mereka di tengah malam dengan tenang?

Lantas di mana mereka berada? Hampir di setiap lokasi sekolah ada basecamp yang menjadi tempat nongkrong mereka. Bebas berkumpul sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Bahkan ketika masyarakat menolak hingga memasang spanduk ternyata tidak menimbulkan efek jera bagi mereka. Seperti halnya pedagang di pasar yang hilang ketika ada operasi pasar tetapi kemudian muncul setelah isu mereda. Sekolah berupaya keras melarang dan menutup basecamp tersebut, tetapi tanpa kerja sama pihak keluarga, masyarakat, dan sekolah maka hal itu akan sulit. Ada sekolah yang tegas menutup tetapi masyarakat masih menyediakan tempat lainnya dan orangtua pun sibuk hingga lupa mengontrol keberadaan anaknya.

Usia remaja merupakan usia rentan. Mereka membutuhkan perhatian dan bimbingan. Mereka mencari jati diri mereka, eksistensi diri mereka. Jika mereka tidak menemukannya di rumah maka mereka akan mencari di luar, di sekolah atau masyarakat. Inilah yang menyebabkan terkadang kita menemukan bagaimana seorang anak bisa berbeda sikap, perilakunya ketika di rumah dengan di sekolah. Begitu pula ketika berkumpul dengan temannya.

Salah satu cara menunjukkan eksistensi diri di usia remaja adalah dengan menunjukkan kehebatan mereka hingga lingkungan sekitarnya mengakui. Ini memberikan kepercayaan diri kepada mereka. Jika di rumah tidak diakui, di sekolah pun mereka tergeser oleh siswa siswi teladan, maka satu-satunya jalan adalah di masyarakat. Cara instan yang banyak mereka ambil adalah dengan tawuran, baik satu lawan satu ataupun berkelompok. Maka mulailah lahir generasi petarung yang berlaku turun temurun. Alumni menurunkan kepada adik-adik kelasnya, membentuk citra mereka sendiri.

Citra sekolah petarung kini semakin kuat, tidak lagi memandang apakah sekolah favorit ataupun bukan. Pengaruh gaya hidup yang luar biasa di era milenial ini ternyata berpengaruh pula pada kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat, termasuk remaja. Mereka yang tidak terangkul oleh keluarga dan sekolah menjadikan kelompok mereka sebagai keluarga. Eksistensi diri mereka diakui dalam keluarga barunya dan semakin mendorong kepercayaan diri. Keberanian muncul dan terus menguasai. Maka yang terjadi adalah munculnya petarung-petarung muda yang beraksi tanpa memikirkan masa depan mereka lagi.

Miris? Sangat..... Jika dulu tawuran hanyalah sekadar perkelahian biasa, kini tawuran sampai memakan nyawa sesama pelajar dan tidak jarang menimpa mereka yang tidak tahu menahu, hanya kebetulan berada di lokasi. Sekolah mendapat pekerjaan rumah yang lebih berat lagi untuk memutus rantai petarung-petarung remaja tersebut. Sementara keluarga pun seharusnya bergerak cepat menarik putra putri mereka sebelum makin jauh masuk dalam pergaulan tersebut.

Selama ini saya hanya mendengar dan membaca berita seputar tawuran pelajar yang memakan korban nyawa. Gemes, tentu saja. Akan tetapi ketika berhadapan langsung, bukan hanya perih yang dirasakan, tetapi gemuruh emosi dan sesal mengapa pendidikan di Indonesia menjadi seperti ini? Malu sebagai guru yang ternyata belum mampu mencetak generasi muda berkualitas.

Suatu hari, keponakan yang sudah saya anggap sebagai anak sendiri mengalami peristiwa tersebut. Malam naas yang tidak terlalu malam dan terjadi di tempat terbuka. Dia yang baru pulang latihan bulutangkis mampir ke rumah temannya untuk shalat Maghrib. Selanjutnya pulanglah dan di jalan mulailah kelompok remaja petarung meneriakinya. Karena tidak digubris maka dikejarlah. Jalan yang dilalui adalah jalan besar yang cukup ramai. Rumahnya hanya tersisa sekian kilometer lagi. Akan tetapi, yang terjadi mereka menendang motor hingga jatuh, rusak parah, dan hilang entah kemana, serta membawa kponakan di dekat pinggir jalan besar itu. Beramai-ramai, digilir hingga pecah tulang kepala, tangan, dan luka di sekujur tubuh. Tidak ada yang berani menolong, mengira sudah meninggal. Sebelum kemudian dibawa ke rumah sakit terdekat. Sekolah dihubungi dan menemuinya di rumah sakit. Ibunya dihubungi dan dikatakan anaknya mengalami kecelakaan. Ayahnya adalah kakak saya sudah meninggal dan ibunya seorang diri tidak bekerja, sesekali berjualan. Kami sekeluarga bahu membahu membantunya. Berharap dia akan menjadi anak laki-laki yang menjadi kebanggaan keluarga.

Ketika malam itu saya dikabari dan dikirim foto-foto kejadian itu, saya sudah membantah ini bukan kecelakaan tapi dipukuli. Hanya orang bodoh yang percaya itu adalah kecelakaan. Dan ketika besoknya saya mendatangi sekolahnya untuk mengkonfirmasi semua kejadian dan proses ke depan karena sekarang sudah kelas 12 yang akan mengikuti ujian. Air mata saya tidak dapat tertahan lagi. Terlebih ketika menyaksikannya terbaring di ruang HCU tanpa sadar.

Perlu operasi otak yang biayanya puluhan juta, mengangkat tulang kepala yang pecah. Kemudian operasi tangan yang patah remuk. Matanya belum dapat melihat. Hati seorang ibu mana yang tidak menangis melihat anak yang dibesarkan dengan penuh perjuangan terbujur kaku remuk redam. Kami bahu membahu agar operasi bisa segera dilaksanakan. Semua diurus dengan penuh perjuangan. Entah berapa lama di rumah sakit sampai akhirnya bisa dipulangkan untuk berobat jalan hingga saat ini.

Luka fisik mungkin dapat dihapus perlahan, tetapi luka psikis akan terus membayangi. Dan itu adalah pekerjaan bagi kami, saya untuk terus membangkitkan kembali semangat hidupnya. Ketika dia bertanya kenapa harus dia yang menerima semua ini padahal dia bukanlah anak nakal..... Dan beribu curhatan lainya di malam hari. Setiap jawaban selalu disertai bulir air yang menetes. Allah tidak akan membebani hamba-Nya diluar batas kemampuannya. Setiap ujian kenaikan level akan semakin berat.

Bagaimana dengan pelaku? Bebas bersekolah sampai akhirnya lulus. Tak ada sanksi apapun karena sekolah menyangkal perbuatan itu oleh mereka. Tidak cukup bukti? Hati nurani tidak akan pernah cukup.

Cukuplah sudah sekolah melahirkan petarung-petarung yang berkeliaran setiap malam mencari korban. Tidak mudah menjadi pimpinan, tetapi kebijakan aturan yang tegas tentu sangat diperlukan. Begitu pula dengan kerja sama orangtua. Jadilah orangtua yang memang benar-benar peduli terhadap anaknya. Mampu mengenali anaknya di dalam maupun di luar rumah. Jangan lepaskan mereka begitu saja pada sekolah, ini tetap menjadi tanggung jawab kita bersama. Dan jadilah guru yang tidak membedakan setiap muridnya, yang terbaik ataupun yang terburuk, mereka semua membutuhkan perhatian dan pengakuan dari lingkungan sekitarnya.

Masalah pendidikan bukanlah tanggung jawab satu atau dua pihak saja. Akan tetapi, adalah tanggung jawab bersama, baik pemerintah, sekolah, orangtua, dan masyarakat. Siswa siswi adalah generasi muda yang menjadi wajah masa depan bangsa ini. Jangan lahirkan remaja petarung, tapi cetaklah remaja berkualitas dan kompeten dalam menghadapi tantangan jaman.

Finlandia yang menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia mengedepankan pendidikan karakter bagi siswa siswinya, bahkkan masyarakat Finlandia sangat tertib dan tidak mau melanggar aturan karena tidak mau memberi contoh buruk kepada generasi muda. Mereka khawatir akan ditiru dan merusak karakter yang telah terbentuk ini. Jepang mengajarkan pendidikan karakter selama tahun-tahun awal pendidikan dasarnya terlebih dahulu. Inikah pentingnya pendidikan karakter bagi kita dan sebuah karakter tidak bisa dibentuk secara instan. Sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarga harus sudah diajarkan karakter yang baik sehingga menjadi fondasi ketika mereka masuk dalam lingkungan masyarakat. Sekolah membantu pembentukan karakter tersebut, mengubahnya menjadi lebih baik, tetapi tetap kunci utama da pada keluarga dan agama sebagai dasar iman kita.

Bangsa Indonesia merdeka karena kualitas pemuda pemudinya yang sadar dengan pentingnya pendidikan. Sekarang? Pendidikan Indonesia menjadi yang terendah di Asia, kualitas guru Indonesia menjadi yang terendah di Asia, dan kemampuan siswa siswi kita pun masih dibawah Malaysia, bahkan Vietnam. Apakah kita akan membiarkannya? Jawablah dengan hati nurani Anda.


SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku), Aksi Nyata Meningkatkan Budaya Literasi Siswa dengan Merdeka Belajar

 Salam Guru Penggerak! Tak terasa modul 3.3 dari Program Pendidikan Guru Penggerak sudah hampir selesai dipelajari. Tersisa dua penugasan la...