Kamis, 05 Mei 2022

KONEKSI ANTARMATERI : PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

Tidak terasa, perjalanan Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4 sudah memasuk modul akhir, yaitu modul 3 dan saat ini kami baru saja menyelesaikan Modul 3.1 dengan materi Pengambilan Keputusan sebagai seorang Pemimpin Pembelajaran. Betul sekali, kita sebagai seorang guru harus memiliki kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran, bukan hanya bagi siswa di kelas, tetapi juga dalam berkolaborasi dengan rekan guru sehingga mampu menciptakan budaya positif dalam lingkungan sekolah kita.

Modul 3 merupakan modul yang luar biasa materinya dengan penanaman konsep, prinsip, paradigma dan langkah-langkah dalam pengambilan keputusan seorang pemimpin pembelajaran. Dan seperti pada modul-modul sebelumnya, kita tidak boleh lupa bahwa setiap materi dalam modul memiliki koneksi antarmateri yang saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, kita tidak bisa langsung mempelajari modul 3 tanpa terlebih dahulu memahami modul 1 dan 2. Nah, mari kita telaah bersama koneksi yang terjalin antara modul 1, modul 2, dan modul 3 dalam Program Pendidikan Guru Penggerak kali ini.

Filosofi Ki Hajar Dewantara, Pratap Triloka menjadi dasar bagi guru dalam menjalankan perannya

Dalam modul 1, kita banyak belajar tentang Filosofi Ki Hajar Dewantara yang didalamnya mencakup Filosofi Pratap Triloka. Apalah sebenarnya Filosofi Pratap Triloka tersebut?Kita lebih mengenalnya dengan semboyan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso. Tut Wuri Handayani. Sebagai guru, kita sudah memahami makna yang terkandung dalam ketiga semboyan tersebut, namun sudahkah kita mencoba mempraktikkannya sebagai seorang pemimpin pembelajaran? Guru sebagai pemimpin pembelajaran bukan lagi menjadi pusat pembelajaran yang mengekang kreativitas siswa, namun sebagai guru harus mampu menjadi teladan, memberikan motivasi dan dorongan kepada siswa agar dapat memaksimalkan potensinya dengan baik. Artinya, guru harus kreatif, inovatif, mampu menemukan model pembelajaran, media dan bahan ajar yang tepat sesuai dengan kebutuhan siswa. Filosofi Pratap Triloka merupakan dasar bagi penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi untuk siswa. Guru sebagai pemimpin pembelajaran harus dapat mengambil keputusan yang tepat dalam pembelajaran berdiferensiasi tersebut.

Selanjutnya, kita akan bicara mengenai nilai-nilai kebaikan, nilai karakter positif yang ditanamkan sejak kita kecil, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Filosofi Ki Hajar Dewantara sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan tersebut. Nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi kekayaan bagi suatu daerah. Seorang anak akan mendapat pendidikan karakter sejak dini. Hal ini tentu akan sangat bergantung pada pola asuh orangtua. Nilai-nilai kebaikan inilah yang kelak akan mempengaruhi seseorang ketika berhadapan pada situasi pengambilan keputusan, baik bujukan moral atau dilema etika. Penanaman nilai-nilai baik yang terinternalisasi dengan benar akan membentuk pribadi berkarakter sehingga ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan, nilai-nilai kebaikan dalam dirinya akan menjadi rambu-rambu agar tidak berbuat salah, melanggar aturan ataupun etika. 

Nilai-nilai kebaikan bukan hanya berlaku bagi kita, guru yang menjadi pemimpin pembelajaran saja. Siswa siswi pun harus kita tanamkan nilai-nilai kebaikan itu sejak dini. Ingatkah ketika kita sampai pada modul 2 tentang praktik Couching? Guru sebagai couch tidak boleh memberikan solusi kepada siswa siswi yang memiliki masalah. Dengan metode TIRTA, guru sebagai couch akan menggali potensi dalam diri siswa siswi tersebut sehingga mereka mampu mengambil keputusannya sendiri. Seperti halnya kita yang akan mempertimbangkan nilai-nilai kebaikan tersebut, maka siswa siswi pun akan sama, baik secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pengambilan keputusan saat mereka sedang couching.

Couching dengan berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan

Begitu pula halnya dengan kita sebagai seorang guru menjadi pemimpin pembelajaran. Nilai-nilai kebaikan akan membantu kita dalam mengontrol emosi sehingga ketika mempraktikkan Pembelajaran Sosial Emosional akan lebih mudah. Ketika kita menghadapi tekanan pekerjaan, menangani permasalahan siswa, melakukan pembelajaran di kelas, praktik pembelajaran sosial emosional tidak boleh kita lupakan. Sebagai contoh, kita harus profesional sebagai guru. Akan tetapi, ketika kita merasa stress, depresi dengan beban pekerjaan akan mempengaruhi pekerjaan kita. Mengajar menjadi tidak fokus. Disinilah kita harus mengingat nilai keadilan, nilai kepedulian agar diri kita tidak sampai terpuruk karena ada siswa siswi yang membutuhkan kita. Jika kita membolos karena sedang merasa stress maka tentu tidak adil bagi siswa siswi, sebaliknya jika kita memahami makna nilai kebaikan maka hal itu tidak akan terjadi.

Nah, sampai disini kita dapat melihat bagaimana koneksi erat antara materi di modul 1 dan 2. Materi-materinya menjadi landasan dalam modul 3 ini. Terutama ketika berhadapan dengan kasus bujukan moral dan dilema etika. Kasus bujukan moral menunjukan dengan jelas mana yang benar dan salah, mana yang sesuai aturan dan tidak sesuai. Namun, seperti halnya bujukan yang dapat mempengaruhi seseorang untuk memilih yang salah dapat saja terjadi. Lain halnya jika nilai kebaikan sudah tertanam dalam diri. Kita tidak akan mudah tergoda melanggar aturan demi kenyamanan pribadi salah. Begitu pula halnya dengan dilema etika yang harus kita perhatikan dengan baik saat melakukan identifikasi masalah dan memperhatikan nilai-nilai kebaikan mana yang saling bersinggungan.

Pengambilan keputusan yang baik akan berdampak positif bagi lingkungan kita karena dalam prosesnya telah melewati tahapan-tahapan yang juga memperhatikan pengaruh yang akan ditimbulkannya. Namun, hal ini tidak mudah. Apalagi jika dalam lingkungan tersebut telah memiliki budaya tersendiri. Perubahan paradigma dapat kita lakukan dengan melakukan perubahan dari dalam diri kita sendiri. Seperti halnya Alur Merdeka Belajar yang selalu memulai dari diri sendiri. Selanjutnya, inilah yang menjadi tantangan bagi seorang Guru Penggerak yaitu melakukan perubahan terhadap lingkungannya. Tentu saja ada kebiasaan-kebiasaan dalam lingkungan kita yang harus diubah ketika dirasakan bertentangan denga aturan, namun dibiarkan saja seperti halnya kasus bujukan moral. Ataukah sebaliknya ada dilema etika yang dihadapi Guru Penggerak ketika harus melakukan perubahan di lingkunganya. Oleh karena itulah kita memerlukan kolaborasi dengan rekan guru, wakil kepala sekolah, dan kepala sekolah. Begitu juga dengan orangtua dan siswa siswinya. Kolaborasi holistik yang terjalin untuk melakukan perubahan paradigma menuju budaya positif yang lebih baik. Ini memang menjadi suatu tantangan bagi kami. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda, kepentingan yang beragam pula sehingga dapat berpengaruh terhadap perubahan paradigma yang ingin dilakukan. Namun, sebagai Guru Penggerak kita tidak boleh menyerah begitu saja. Perubahan sekecil apapun akan sangat berarti. 



Merdeka Belajar akan tercapai ketika guru berhasil menjadi pengambil keputusan yang tepat

Pada akhirnya, koneksi antarmateri akan bermuara pada Merdeka Belajar siswa siswi kita sendiri. Bagaimana pengambilan keputusan yang baik dalam proses pembelajaran dengan memegang nilai kebaikan, prinsip dan paradigma pengambilan keputusan akan mendorong siswa siswi merdeka belajar sesuai potensinya masing-masing. Sekolah bukanlah tempat doktrinisasi pembelajaran, melainkan taman belajar yang seharusnya mampu menlahirkan siswa siswi berkarakter Pancasila dan siap menghadapi jenjang yang lebih tinggi, tantangan yang lebih besar ketika mereka terjun dalam masyarakat. 


Salam Guru Penggerak


Sumber :

1. Modul 3.1 Program Pendidikan Guru Penggerak

2. http://disdikkbb.org/news/merdeka-belajar-belajar-merdeka/

3. http://esqnews.id/berita/hadapi-masa-pandemi-dengan-ilmu-3-0-coaching



1 komentar:

  1. Benar sekali, sekolah harus melahirkan siswa berkarakter Pancasila. Sehingga saat lulus dan hidup di lingkungan masyarakat, karakter tersebut sudah tertanam dalam diri siswa untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya.

    BalasHapus

SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku), Aksi Nyata Meningkatkan Budaya Literasi Siswa dengan Merdeka Belajar

 Salam Guru Penggerak! Tak terasa modul 3.3 dari Program Pendidikan Guru Penggerak sudah hampir selesai dipelajari. Tersisa dua penugasan la...