Salam Guru Penggerak!
Setelah hampir 1 bulan kita belajar Modul 3.2 tentang Pengelolaan Sumber Daya Sekolah, kini kita sampai pada akhir kegiatan modul yaitu membuat koneksi materi dari modul pertama hingga modul ketiga ini. Kegiatan yang selalu dilakukan mengingatkan kita bahwa apa yang kita pelajar sejak awal itu selalu berkaitan, berhubungan dan saling mempengaruhi pemahaman kita.
Seperti biasa, Modul 3 masih tetap menjadi modul penuh tantangan, baik secara materi ataupun penugasan. Kita bukan lagi belajar sebagai individu guru, melainkan bagian dari sekolah yang harus berpikir secara holistik untuk turut serta mengembangkan sekolah. Bagi saya yang hanya seorang guru biasa, materi ini menjadi tantangan karena mau tidak mau, saya harus belajar untuk memahami manajemen sekolah. Lantas? Apa hubungannya materi ini dengan materi Modul 1 dan Modul 2 yang lebih banyak berbicara tentang kompetensi pribadi seorang Guru Penggerak? Mari kita telaah satu persatu koneksi yang terbangun antarmodul tersebut.
Salah satu tantangan dalam Program Pendidikan Guru Penggerak dan Implementasi Kurikulum Merdeka adalah mindset. Perubahan mindset seorang guru terhadap kedua hal tersebut menjadi kunci utama karena tanpa perubahan mindset tersebut, maka akan sulit seorang Guru Penggerak ataupun guru lainnya untuk bergerak melakukan perubahan, dengan dimulai dari diri sendiri.
Modul 1 lebih banyak berbicara tentang Filosofi Ki Hajar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak, Visi Guru Penggerak, hingga Budaya Positif yang akan dibangun oleh seorang guru. Jika kita perhatikan, materi-materi ini menjadi materi dasar bagi kami, Guru Penggerak untuk memiliki kesamaan paradigma terhadap pendidikan. Filososi Ki Hajar Dewantara adalah materi yang telah 'menampar' saya sebagai seorang guru yang selama ini kadang egois dalam memperlakukan peserta didik. Materi yang telah mengajarkan saya untuk memanusiakan peserta didik sebagai sebuah potensi yang dengan pembelajaran tepat dapat melejit sebagai aset sekolah. Sebagau guru, kami memiliki nilai dan peran yang mndukung perubahan paradigma pendidikan Indonesia dengan Implementasi Kurikulum Merdeka. Ini pun menjadi tantangan dengan banyaknya respon guru sebagai tombak utama pelaksanaan Kurikulum Merdeka tersebut. Namun, dengan bekal pemahaman nilai, peran, dan visi Guru Penggerak, saya merasa lebih tenang menghadapi perubahan kurikulum tersebut. Bahkan, dalam modul 1 ini, saya sudah mulai mempraktikan Budaya Positif sebagai salah satu aset sekolah yang harus dikembangkan dan harus dimulai dari diri kita sendiri, di dalam kelas yang kita kelola.
Selanjutnya, setelah kita memahami paradigma seorang Guru Penggerak, kita akan diajak untuk melangkah lebih jauh dalam Modul 2 yang berisi materi tentang Pembelajaran yang Berpihak pada Murid dengan menerapkan Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Couching. Ketiga materi utama dalam Modul 2 menjadi aksi nyata dari Guru Penggerak setelah mengalami perubahan paradigama terhadap pendidikan. Materi Modul 2 ini sangat penting karena berkaitan dengan kompetensi Guru Penggerak, yaitu pemimpin dalam pembelajaran. Ketiganya menjadi bekal bagi seorang guru dalam melaksanakan Implementasi Kurikulum Merdeka nantinya. Selain itu, materi Modul 2 ini juga mengingatkan kembali bahwa bagi seorang guru, proses belajar tidak hanya terbatas di ruang kelas. Seluruh lingkungan sekolah menjadi taman belajar bagi siswa yang menyenangkan dan nyaman. Bukan lagi kaku, tegang, bahkan menyeramkan ketika si anak belajar materi tertentu.
Menariknya, Modul 2 ini juga bukan menyoroti siswa sebagai objek utama, tetapi kita sebagai seorang guru yang tidak lepas dari kejenuhan mengajar ataupun permasalahan tertentu. Materi Pembelajaran Sosial Emosional dan Couching adalah materi yang dapat kita terapkan untuk diri kita sendiri dan sesama rekan guru. Oleh sebab itulah, dalam kurun waktu sebelum dan setelah mempelajari Modul 2 ini, kita diharapkan lebih mampu mengontrol emosi kita sebagai seorang guru ketika berhadapan dengan permasalahan siswa, pekerjaan, atau hubungan dengan rekan kerja. Dari Modul 1 dan Modul 2, kita mulai diajak beranjak perlahan pada lingkungan sekolah. Jika di awal kita fokus pada perubahan diri sendiri, maka Modul 2 mengajak kita untuk mulai melakukan perubahan pada siswa dan rekan guru melalui proses pembelajaran dan hubungan rekan kerja. Dalam Modul 2, kita sama-sama belajar membentuk Mindfulness dan mencapai Well-Being sebagai seorang guru.
Setelah kita sebagai guru berhasil membentuk mindfulness dan well-being dalam diri maka selanjutnya kita akan berhadapan dengan permasalahan yang lebih kompleks. Modul 3 mulai membawa kita dalam menjalankan peran sebagai pengambil keputusan dalam kepemimpinan pembelajaran. Dalam keseharian kita sebagai guru, pasti pernah berhadapan dengan beragam masalah. Kita sudah belajar untuk menerapkan mindfulness dan mencapai well-being, artinya kita seharusnya sudah lebih mampu mengontrol diri ketika berhadapan dengan suatu permasalahan. Tidak lagi panik, emosi, tetapi mampu berpikir tenang dan jernih. Menghadapi segala permasalahan dengan penuh kesadaran. Banyak contoh dalam Modul 3.1 tentang permasalahan, mulai dari peran sebagai siswa, orangtua, guru, hingga kepala sekolah. Kami, guru penggerak belajar untuk berada dalam posisi mereka dan melakukan langkah-langkah pengambilan keputusan yang tepat, dengan menggunakan 9 langkah pengambilan keputusan yang sudah diajarkan. Bagaimana kita menggunakan pendekatan dan paradigma pengambilan keputusan untuk menemukan solusi permasalahan, bahkan kita juga belajar untuk mencari solusi kreatif dari permasalahan yang ada.
Apa koneksi yang terjalin antara pengambilan keputusan ini dengan pengelolaan sumber daya sekolah?
Guru Penggerak disiapkan bukan hanya menjadi pemimpin pembelajaran di kelas, namun juga sebagai calon kepala sekolah yang akan memimpin sebuah sekolah, mengembangkan sekolah tersebut menjadi sekolah unggul berkualitas. Dalam Modul 3.2, kita akan belajar tentang asset yang dimiliki sekolah. Ketujuh asset akan membentuk karakteristik sekolah dan menjadi dasar pembentukan visi misi dan tujuan sekolah. Selanjutnya, sekolah akan merencanakan strategi dan program untuk mencapainya. Ketujuh asset sekolah, mulai dari modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal lingkungan, modal finansial, modal politik, dan modal budaya setiap sekolah tentu berbeda-beda. Kita akan melakukan pemetaan dari setiap asset sekolah dan melakukan analisis SWOT sehingga dapat menemukan ciri khas sekolah yang akan dikembangkan menjadi keunggulan sekolah. Nah, disinilah diperlukan pengambilan keputusan yang tepat agar asset sekolah dapat dioptimalkan pemanfaatannya.
Perbedaan pendekatan berbasis masalah dan pendekatan berbasis aset
dalam pengelolaan sumber daya sekolah
Menariknya, pengelolaan sumber daya sekolah ini bukan hanya menjadi milik kepala sekolah yang akan memajukan sekolahnya saja. Kita sebagai seorang guru, pemimpin pembelajaran juga memerlukan pemetaan dari sumber daya sekolah agar dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran. Merdeka belajar bukan hanya milik siswa siswi saja, tetapi kita sebagai guru juga memiliki kemerdekaan dalam merancang pembelajaran. Inilah bagian dari pembelajaran berdiferensiasi yang akan kita jalani, terutama dalam Implementasi Kurikulum Merdeka. Apakah bukan sebaliknya, guru menjadi repot dengan jargon Merdeka Belajar ini? Pandangan seperti ini tidak boleh ada dalam kamus seorang Guru Penggerak. Merdeka Belajar bagi seorang guru adalah ketika kita diberikan kebebasan untuk menggunakan beragam media ajar, memanfaatkan seluruh lingkungan belajar di sekolah, hingga kebebasan dalam memilih beragam model pembelajaran sesuai dengan karakter siswa siswinya. Di sini, kita dituntut untuk menjadi guru kreatif merancang pembelajaran.
Saya merasa tersindir keras ketika melihat salah satu tayangan dalam video youtube yang ditampilkan dalam Modul 3.2 ini. Video yang menunjukkan sekolah inpres di pelosok yang sudah berhasil memasukan pengelolaan sumber daya sekolah dan pemanfaatannya dalam kegiatan pembelajaran. Sederhana namun bermakna, ketika anak-anak SD itu mulai belajar dengan menggunakan Desain Thinking yang luar biasa. Antusias mereka mengikuti pembelajaran, pemanfaatan lingkungan belajar di sekolah, hingga nilai-nilai karakter yang ditanamkan dalam setiap pembelajaran tersebut benar-benat inspiratif. Keterbatasan asset tidak menghalangi guru tersebut untuk kreatif merancang pembelajaran bagi siswa siswinya. Saya pikir, inilah mengapa modal manusia menjadi asset utama dalam sumber daya sekolah.
Bagaimana dengan saya, kita yang menjadi guru di perkotaan? Sudahkah ikut melaksanakan ini semua dan menjadi pemimpin dalam pembelajaran?
Saya masih terus belajar untuk menerapkan apa yang saya dapatkan dari Program Pendidikan Guru Penggerak dalam kegiatan pembelajaran yang saya rancang untuk anak-anak di kelas. Saya mulai menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional di kelas yang saya ajar. Menarik, karena dalam interview antara siswa dengan Pengajar Praktik, anak-anak itu dapat menyebutkan perubahan dalam cara saya mengajar dan memberikan respon positif terhadap perubahan itu. Saya tidak pernah merekayasa atau membuat skenario ketika proses pendampingan dan observasi kelas. Saya ingin mencari tahu juga, apakah yang saya lakukan berhasil atau masih ada kekurangan. Di sisi lain, saya percaya anak-anak ini mampu menunjukkan potensi terbaiknya tanpa perlu saya minta. Dan ketika kita memberikan kepercayaan kepada mereka, maka mereka pun akan mempercayai kita untuk memaksimalkan potensi belajarnya. Tidak ada anak yang bodoh ataupun malas. Semua memiliki alasan tersendiri. Kita hanya belum dapat menemukan cara yang tepat untuk menggali potensi mereka. Jika gagal, cari lagi cara yang tepat. Tak ada kata menyerah bagi seorang guru dalam mendidik siswa siswinya.
Berikut ini adalah contoh rancangan sederhana dalam pembentukan dan penerapan Budaya Postif yang mendukung pembelajaran di kelas.
|
TAHAPAN |
PERTANYAAN |
TINDAKAN |
|
B (Buat Pertanyaan) |
Bagaimana menerapkan Budaya Positif di kelas yang dapat membentuk
kenyaman belajar siswa? |
Membuat kesepakatan kelas yang mengakomodir keinginan bersama |
|
A (Ambil Pelajaran) |
Bagaimana cara membuat kesepakatan
kelas yang baik? Siapa saja yang terlibat dalam
penerapan Budaya Positif ini? |
Guru membimbing siswa dalam bermusyawarah
dan menentukan keinginan bersama Semua siswa terlibat dalam proses
perumusan kesepakatan kelas. |
|
G(Gali Mimpi) |
Apakah kebiasaan-kebiasaan baru
yang muncul dalam kesepakatan kelas ini? Bagaimana pola pikir anak-anak
dalam menyusun kesepakatan kelasnya? Apakah nilai-nilai karakter
positif ikut dimasukan dalam kesepakatan kelas yang dibentuk? |
Guru membagi kelompok setiap
daftar keinginan siswa yang telah disampaikan. Point-point baru menjadi bahan
diskusi bersama. Point-point keinginan menunjukkan
keberagaman pola pikir anak. Kelas IPA dan IPS memiliki keragaman berpikir yang
menarik dan berbeda. Nilai-nilai karakter positif yang
muncul dalam point keinginan akan dimunculkan sebagai bagian dari kesepakatan
kelas, termasuk branding kelas masing-masing yang dapat menambah semangat
setiap kelas. |
|
J(Jabarkan Rencana) |
Apa langkah-langkah yang diperlukan
agar Kesepakatan Kelas menjadi Budaya Positif kelas tersebut yang tidak dilupakan? Adalah solusi alternatif untuk
menjadikan Kesepakatan Kelas sebagai Budaya Positif? |
Guru menyampaikan teknis pembentukan
kesepakatan kelas pada awal pertemuan dan selalu mengingatkan ketika masuk
kelas dalam pertemuan selanjutnya. Demikian pula ketika pembelajaran secara
online maka ditampilan terlebih dahulu kesepakatan kelas agar siswa selalu
ingat. Siswa mendesain hasil kesepakatan kelas dan
menempelnya dalam dinding kelas. |
|
A(Atur Eksekusi) |
Siapa yang terlibat dalam
mewujudkan rencana penerapan Budaya Positif di sekolah? Bagaimana cara mengkomunikasikan
penerapan Budaya Positif terhadap warga sekolah? Siapa yang akan bertanggungjawab
dalam penerapan Budaya Positif ini? |
Guru meninjau kembali
langkah-langkah pembentukan kesepakatan kelas dan memastikan semua pihak
terlibat sehingga penerapannya dapat menjadi Budaya Positif sekolah. Komunikasi langsung ataupun tak
langsing dapat dilakukan, misalnya dengan diskusi sesame rekan guru, siswa,
atau menempel poster kesepakatan kelas masing-masing. Guru, terutama wali kelas menjadi
penanggung jawab terhadap penerapan Budaya Positif sehingga jika ada yang
melanggar dapat diberikan sanksi. |
Budaya Positif dengan dimulai dari Kesepakatan Kelas akan menunjukkan keberagaman karakter siswa setiap kelasnya. Kesepakatan Kelas yang terbentuk akan mencerminkan potensi kelas tersebut. Setelah diawali dari kelas, selanjutnya secara perlahan kita akan membawa Budaya Positif kelas tersebut menjadi Budaya Positif sekolah.
Yup! Program pendidikan Guru Penggerak memang memberikan banyak pelajaran berharga bagi saya. Mulai dari perubahan pandangan terhadap pendidikan hingga pola pikir positif yang terus terbangun ketika ketika melakukan pekerjaan kita sebagai guru. Jangan pernah takut untuk berubah dan melakukan perubahan, terutama dalam proses pembelajaran kita. Kita adalah pemimpin pembelajaran.
.jpeg)
.jpeg)








