Minggu, 29 Mei 2022

KONEKSI ANTARMATERI MODUL 3.2 PENGELOLAAN SUMBER DAYA SEKOLAH : MEWUJUDKAN MIMPI PRESTASI TANPA BATAS DENGAN ASSET TERBATAS

Salam Guru Penggerak!

Setelah hampir 1 bulan kita belajar Modul 3.2 tentang Pengelolaan Sumber Daya Sekolah, kini kita sampai pada akhir kegiatan modul yaitu membuat koneksi materi dari modul pertama hingga modul ketiga ini. Kegiatan yang selalu dilakukan mengingatkan kita bahwa apa yang kita pelajar sejak awal itu selalu berkaitan, berhubungan dan saling mempengaruhi pemahaman kita.

Seperti biasa, Modul 3 masih tetap menjadi modul penuh tantangan, baik secara materi ataupun penugasan. Kita bukan lagi belajar sebagai individu guru, melainkan bagian dari sekolah yang harus berpikir secara holistik untuk turut serta mengembangkan sekolah. Bagi saya yang hanya seorang guru biasa, materi ini menjadi tantangan karena mau tidak mau, saya harus belajar untuk memahami manajemen sekolah. Lantas? Apa hubungannya materi ini dengan materi Modul 1 dan Modul 2 yang lebih banyak berbicara tentang kompetensi pribadi seorang Guru Penggerak? Mari kita telaah satu persatu koneksi yang terbangun antarmodul tersebut.

Salah satu tantangan dalam Program Pendidikan Guru Penggerak dan Implementasi Kurikulum Merdeka adalah mindset. Perubahan mindset seorang guru terhadap kedua hal tersebut menjadi kunci utama karena tanpa perubahan mindset tersebut, maka akan sulit seorang Guru Penggerak ataupun guru lainnya untuk bergerak melakukan perubahan, dengan dimulai dari diri sendiri.

Modul 1 lebih banyak berbicara tentang Filosofi Ki Hajar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak, Visi Guru Penggerak, hingga Budaya Positif yang akan dibangun oleh seorang guru. Jika kita perhatikan, materi-materi ini menjadi materi dasar bagi kami, Guru Penggerak untuk memiliki kesamaan paradigma terhadap pendidikan. Filososi Ki Hajar Dewantara adalah materi yang telah 'menampar' saya sebagai seorang guru yang selama ini kadang egois dalam memperlakukan peserta didik. Materi yang telah mengajarkan saya untuk memanusiakan peserta didik sebagai sebuah potensi yang dengan pembelajaran tepat dapat melejit sebagai aset sekolah. Sebagau guru, kami memiliki nilai dan peran yang mndukung perubahan paradigma pendidikan Indonesia dengan Implementasi Kurikulum Merdeka. Ini pun menjadi tantangan dengan banyaknya respon guru sebagai tombak utama pelaksanaan Kurikulum Merdeka tersebut. Namun, dengan bekal pemahaman nilai, peran, dan visi Guru Penggerak, saya merasa lebih tenang menghadapi perubahan kurikulum tersebut. Bahkan, dalam modul 1 ini, saya sudah mulai mempraktikan Budaya Positif sebagai salah satu aset sekolah yang harus dikembangkan dan harus dimulai dari diri kita sendiri, di dalam kelas yang kita kelola. 

Selanjutnya, setelah kita memahami paradigma seorang Guru Penggerak, kita akan diajak untuk melangkah lebih jauh dalam Modul 2 yang berisi materi tentang Pembelajaran yang Berpihak pada Murid dengan menerapkan Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Couching. Ketiga materi utama dalam Modul 2 menjadi aksi nyata dari Guru Penggerak setelah mengalami perubahan paradigama terhadap pendidikan. Materi Modul 2 ini sangat penting karena berkaitan dengan kompetensi Guru Penggerak, yaitu pemimpin dalam pembelajaran. Ketiganya menjadi bekal bagi seorang guru dalam melaksanakan Implementasi Kurikulum Merdeka nantinya. Selain itu, materi Modul 2 ini juga mengingatkan kembali bahwa bagi seorang guru, proses belajar tidak hanya terbatas di ruang kelas. Seluruh lingkungan sekolah menjadi taman belajar bagi siswa yang menyenangkan dan nyaman. Bukan lagi kaku, tegang, bahkan menyeramkan ketika si anak belajar materi tertentu. 

Menariknya, Modul 2 ini juga bukan menyoroti siswa sebagai objek utama, tetapi kita sebagai seorang guru yang tidak lepas dari kejenuhan mengajar ataupun permasalahan tertentu. Materi Pembelajaran Sosial Emosional dan Couching adalah materi yang dapat kita terapkan untuk diri kita sendiri dan sesama rekan guru. Oleh sebab itulah, dalam kurun waktu sebelum dan setelah mempelajari Modul 2 ini, kita diharapkan lebih mampu mengontrol emosi kita sebagai seorang guru ketika berhadapan dengan permasalahan siswa, pekerjaan, atau hubungan dengan rekan kerja. Dari Modul 1 dan Modul 2, kita mulai diajak beranjak perlahan pada lingkungan sekolah. Jika di awal kita fokus pada perubahan diri sendiri, maka Modul 2 mengajak kita untuk mulai melakukan perubahan pada siswa dan rekan guru melalui proses pembelajaran dan hubungan rekan kerja. Dalam Modul 2, kita sama-sama belajar membentuk Mindfulness dan mencapai Well-Being sebagai seorang guru. 

Setelah kita sebagai guru berhasil membentuk mindfulness dan well-being dalam diri maka selanjutnya kita akan berhadapan dengan permasalahan yang lebih kompleks. Modul 3 mulai membawa kita dalam menjalankan peran sebagai pengambil keputusan dalam kepemimpinan pembelajaran. Dalam keseharian kita sebagai guru, pasti pernah berhadapan dengan beragam masalah. Kita sudah belajar untuk menerapkan mindfulness dan mencapai well-being, artinya kita seharusnya sudah lebih mampu mengontrol diri ketika berhadapan dengan suatu permasalahan. Tidak lagi panik, emosi, tetapi mampu berpikir tenang dan jernih. Menghadapi segala permasalahan dengan penuh kesadaran. Banyak contoh dalam Modul 3.1 tentang permasalahan, mulai dari peran sebagai siswa, orangtua, guru, hingga kepala sekolah. Kami, guru penggerak belajar untuk berada dalam posisi mereka dan melakukan langkah-langkah pengambilan keputusan yang tepat, dengan menggunakan 9 langkah pengambilan keputusan yang sudah diajarkan. Bagaimana kita menggunakan pendekatan dan paradigma pengambilan keputusan untuk menemukan solusi permasalahan, bahkan kita juga belajar untuk mencari solusi kreatif dari permasalahan yang ada.

Apa koneksi yang terjalin antara pengambilan keputusan ini dengan pengelolaan sumber daya sekolah?

Guru Penggerak disiapkan bukan hanya menjadi pemimpin pembelajaran di kelas, namun juga sebagai calon kepala sekolah yang akan memimpin sebuah sekolah, mengembangkan sekolah tersebut menjadi sekolah unggul berkualitas. Dalam Modul 3.2, kita akan belajar tentang asset yang dimiliki sekolah. Ketujuh asset akan membentuk karakteristik sekolah dan menjadi dasar pembentukan visi misi dan tujuan sekolah. Selanjutnya, sekolah akan merencanakan strategi dan program untuk mencapainya. Ketujuh asset sekolah, mulai dari modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal lingkungan, modal finansial, modal politik, dan modal budaya setiap sekolah tentu berbeda-beda. Kita akan melakukan pemetaan dari setiap asset sekolah dan melakukan analisis SWOT sehingga dapat menemukan ciri khas sekolah yang akan dikembangkan menjadi keunggulan sekolah. Nah, disinilah diperlukan pengambilan keputusan yang tepat agar asset sekolah dapat dioptimalkan pemanfaatannya.

Perbedaan pendekatan berbasis masalah dan pendekatan berbasis aset 

dalam pengelolaan sumber daya sekolah


Menariknya, pengelolaan sumber daya sekolah ini bukan hanya menjadi milik kepala sekolah yang akan memajukan sekolahnya saja. Kita sebagai seorang guru, pemimpin pembelajaran juga memerlukan pemetaan dari sumber daya sekolah agar dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran. Merdeka belajar bukan hanya milik siswa siswi saja, tetapi kita sebagai guru juga memiliki kemerdekaan dalam merancang pembelajaran. Inilah bagian dari pembelajaran berdiferensiasi yang akan kita jalani, terutama dalam Implementasi Kurikulum Merdeka. Apakah bukan sebaliknya, guru menjadi repot dengan jargon Merdeka Belajar ini? Pandangan seperti ini tidak boleh ada dalam kamus seorang Guru Penggerak. Merdeka Belajar bagi seorang guru adalah ketika kita diberikan kebebasan untuk menggunakan beragam media ajar, memanfaatkan seluruh lingkungan belajar di sekolah, hingga kebebasan dalam memilih beragam model pembelajaran sesuai dengan karakter siswa siswinya. Di sini, kita dituntut untuk menjadi guru kreatif merancang pembelajaran. 

Saya merasa tersindir keras ketika melihat salah satu tayangan dalam video youtube yang ditampilkan dalam Modul 3.2 ini. Video yang menunjukkan sekolah inpres di pelosok yang sudah berhasil memasukan pengelolaan sumber daya sekolah dan pemanfaatannya dalam kegiatan pembelajaran. Sederhana namun bermakna, ketika anak-anak SD itu mulai belajar dengan menggunakan Desain Thinking yang luar biasa. Antusias mereka mengikuti pembelajaran, pemanfaatan lingkungan belajar di sekolah, hingga nilai-nilai karakter yang ditanamkan dalam setiap pembelajaran tersebut benar-benat inspiratif. Keterbatasan asset tidak menghalangi guru tersebut untuk kreatif merancang pembelajaran bagi siswa siswinya. Saya pikir, inilah mengapa modal manusia menjadi asset utama dalam sumber daya sekolah. 

Bagaimana dengan saya, kita yang menjadi guru di perkotaan? Sudahkah ikut melaksanakan ini semua dan menjadi pemimpin dalam pembelajaran? 

Saya masih terus belajar untuk menerapkan apa yang saya dapatkan dari Program Pendidikan Guru Penggerak dalam kegiatan pembelajaran yang saya rancang untuk anak-anak di kelas. Saya mulai menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional di kelas yang saya ajar. Menarik, karena dalam interview antara siswa dengan Pengajar Praktik, anak-anak itu dapat menyebutkan perubahan dalam cara saya mengajar dan memberikan respon positif terhadap perubahan itu. Saya tidak pernah merekayasa atau membuat skenario ketika proses pendampingan dan observasi kelas. Saya ingin mencari tahu juga, apakah yang saya lakukan berhasil atau masih ada kekurangan. Di sisi lain, saya percaya anak-anak ini mampu menunjukkan potensi terbaiknya tanpa perlu saya minta. Dan ketika kita memberikan kepercayaan kepada mereka, maka mereka pun akan mempercayai kita untuk memaksimalkan potensi belajarnya. Tidak ada anak yang bodoh ataupun malas. Semua memiliki alasan tersendiri. Kita hanya belum dapat menemukan cara yang tepat untuk menggali potensi mereka. Jika gagal, cari lagi cara yang tepat. Tak ada kata menyerah bagi seorang guru dalam mendidik siswa siswinya.  

Berikut ini adalah contoh rancangan sederhana dalam pembentukan dan penerapan Budaya Postif yang mendukung pembelajaran di kelas.

TAHAPAN

PERTANYAAN

TINDAKAN

B (Buat Pertanyaan)

Bagaimana menerapkan Budaya Positif di kelas yang dapat membentuk kenyaman belajar siswa?

Membuat kesepakatan kelas yang mengakomodir keinginan bersama

A (Ambil Pelajaran)

          Bagaimana cara membuat kesepakatan kelas yang baik?

         Siapa saja yang terlibat dalam penerapan Budaya Positif ini?

        Guru membimbing siswa dalam bermusyawarah dan menentukan keinginan bersama

         Semua siswa terlibat dalam proses perumusan kesepakatan kelas.


G(Gali Mimpi)

          Apakah kebiasaan-kebiasaan baru yang muncul dalam kesepakatan kelas ini?

          Bagaimana pola pikir anak-anak dalam menyusun kesepakatan kelasnya?

          Apakah nilai-nilai karakter positif ikut dimasukan dalam kesepakatan kelas yang dibentuk?

          Guru membagi kelompok setiap daftar keinginan siswa yang telah disampaikan. Point-point baru menjadi bahan diskusi bersama.

          Point-point keinginan menunjukkan keberagaman pola pikir anak. Kelas IPA dan IPS memiliki keragaman berpikir yang menarik dan berbeda.

          Nilai-nilai karakter positif yang muncul dalam point keinginan akan dimunculkan sebagai bagian dari kesepakatan kelas, termasuk branding kelas masing-masing yang dapat menambah semangat setiap kelas.


J(Jabarkan Rencana)

         Apa langkah-langkah yang diperlukan agar Kesepakatan Kelas menjadi Budaya Positif kelas tersebut yang tidak dilupakan?

         Adalah solusi alternatif untuk menjadikan Kesepakatan Kelas sebagai Budaya Positif?

         Guru menyampaikan teknis pembentukan kesepakatan kelas pada awal pertemuan dan selalu mengingatkan ketika masuk kelas dalam pertemuan selanjutnya. Demikian pula ketika pembelajaran secara online maka ditampilan terlebih dahulu kesepakatan kelas agar siswa selalu ingat.

         Siswa  mendesain hasil kesepakatan kelas dan menempelnya dalam dinding kelas.


A(Atur Eksekusi)

          Siapa yang terlibat dalam mewujudkan rencana penerapan Budaya Positif di sekolah?

           Bagaimana cara mengkomunikasikan penerapan Budaya Positif terhadap warga sekolah?

           Siapa yang akan bertanggungjawab dalam penerapan Budaya Positif ini?

           Guru meninjau kembali langkah-langkah pembentukan kesepakatan kelas dan memastikan semua pihak terlibat sehingga penerapannya dapat menjadi Budaya Positif sekolah.

           Komunikasi langsung ataupun tak langsing dapat dilakukan, misalnya dengan diskusi sesame rekan guru, siswa, atau menempel poster kesepakatan kelas masing-masing.

          Guru, terutama wali kelas menjadi penanggung jawab terhadap penerapan Budaya Positif sehingga jika ada yang melanggar dapat diberikan sanksi.




Budaya Positif dengan dimulai dari Kesepakatan Kelas akan menunjukkan keberagaman karakter siswa setiap kelasnya. Kesepakatan Kelas yang terbentuk akan mencerminkan potensi kelas tersebut. Setelah diawali dari kelas, selanjutnya secara perlahan kita akan membawa Budaya Positif kelas tersebut menjadi Budaya Positif sekolah.

Yup! Program pendidikan Guru Penggerak memang memberikan banyak pelajaran berharga bagi saya. Mulai dari perubahan pandangan terhadap pendidikan hingga pola pikir positif yang terus terbangun ketika ketika melakukan pekerjaan kita sebagai guru. Jangan pernah takut untuk berubah dan melakukan perubahan, terutama dalam proses pembelajaran kita. Kita adalah pemimpin pembelajaran.

 

Selasa, 24 Mei 2022

AKSI NYATA MODUL 3.1.A.10 PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

Salam Guru Penggerak!

Hampir separuh perjalanan Program Pendidikan Guru Penggerak telah dilalui oleh setiap Calon Guru Penggerak Angkatan 4, termasuk saya sendiri. Saat ini, saya sudah masuk pada Modul 3.2 dan mempunyai kewajiban untuk melakukan Aksi Nyata dari Modul 3.1 tentang Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran. Ini adalah salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh Guru Penggerak untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Dalam kompetensi Pemimpin Pembelajaran, seorang Guru Penggerak harus mampu untuk :
1. Memimpin upaya membangun lingkungan belajar yang berpusat pada murid
2. Memimpin perencanaan dan pelaksanaan proses belajar yang berpusat pada murid
3. Memimpin refleksi dan perbaikan kualitas proses belajar yang berpusat pada murid
4. Melibatkan orangtua sebagai pendamping dan sumber belajar di sekolah

Kompetensi Pemimpin Pembelajaran mendorong Guru Penggerak untuk kreatif dan inovatif dalam membangun proses belajar di kelas dan menjalin kolaborasi dengan orangtua untuk mendukung proses pembelajaran dari putra putri mereka di sekolah. Oleh karena, saya pun mulai merancang aksi nyata untuk menjalankan kompetensi tersebut. Apa sajakah yang sudah saya rancang dalam aksi nyata ini? Marilah kita sama-sama melihat aksi nyata sebagai sebuah proses pembelajaran dengan menggunakan model 4 F (Facts, Feelings, Finding, Future)

PERISTIWA (FACTS)
1. Latar Belakang
SMA Negeri 10 Kota Bogor merupakan sekolah yang berada di perbatasan wilayah kota dan kabupaten yang berdampak terhadap karakteristik siswa siswinya. Keberagaman tersebut sulit diatasi ketika pandemi datang dan sekolah terpaksa melakukan sistem pembelajaran jarak jauh. Interaksi yang terbatas menyebabkan proses pembelajaran tidak dapat berjalan lancar. Akibatnya, kompetensi siswa pun tidak maksimal dan Guru tidak dapat melihat potensi setiap anak secara utuh. Kondisi ini tentu memerlukan perubahan dalam proses pembelajaran. Saya sebagai guru harus merencanakan dan memutuskan model pembelajaran yang tepat untuk mereka. Apalagi saya mengajar mata pelajaran sejarah yang sarat dengan bacaan dan hapalan bagi mereka. Mindset siswa siswi bahwa sejarah adalah pelajaran yang membosankan harus dapat saya ubah, terutama dalam masa pandemi yang penuh keterbatasan. 

Dari materi yang saya peroleh dalam Program Pendidikan Guru Penggerak, saya mendapat banyak pengetahuan, wawasan tentang upaya membangun proses pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, dan nyaman bagi siswa siswi sehingga potensi mereka dapat maksinal. Salah satunya adalah dengan menerapkan Budaya Positif, Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Couching. 

2. Alasan
Kondisi pembelajaran yang belum maksimal menjadi salah satu alasan saya untuk melakukan aksi nyata Budaya Positif, Pembelajaran Berdiferensiasi, dan Pembelajaran Sosial Emosional di kelas. Ketiga aksi tersebut menjadi kunci untuk menggali potensi anak, menumbuhkan karakter positif, dan memberikan kenyaman belajar bagi siswa setelah sekian lama melakukan PJJ dan mengalami ketertinggalan dalam pendidikan dengan berbagai alasan yang muncul. Dalam langkah pengambilan keputusan untuk melakukan hal tersebut, saya memulainya dalam 9 langkah berikut ini.

a. Analisis Nilai Bertentangan
Kondisi tersebut menunjukan adanya nilai yang bertentangan antara nilai karakter negatif siswa siswi yang semakin menurun dengan tidak mengikuti pembelajaran sebaik mungkin dan nilai-nilai pendidikan yang coba ditanamkan oleh sekolah kepada siswa siswinya. Keduanya menjadi bertentangan dalam kondisi tersebut.

b. Pihak yang Terlibat
Kondisi tersebut melibatkan siswa sebagai subjek utama, orangtua, dan guru. Semua pihak harus berkolaborasi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

c. Fakta yang Relevan
Beberapa fakta yang muncul dalam kondisi permasalahan tersebut adalah menurunnya nilai siswa dan tingkat kehadiran siswa dalam pembelajaran. 

d. Pengujian Benar atau Salah
1) Uji Legal : Sikap siswa siswi tersebut dipandang tidak melanggar hukum
2) Uji Regulasi : Sikap siwa tersebut telah melanggar tata tertib sekolah
3) Uji Uji Institusi : Sikap siswa dalam institusi sekolah adalah salah
4) Uji Halaman Depan Koran : Permasalahan siswa merupakan masalah intern yang akan tidak nyaman jika dimuat dalam halaman depan koran karena dapat membuat nama institusi jelek. 
5) Uji Panutan : Siswa diberikan panutan yang dapat memotivasi untuk mencontoh perilaku positif panutannya tersebut, dalam hal ini bisa saja seorang guru yang disiplin dan profesional

e. Penggunaan Paradigma
Sikap siswa berkaitan dengan karakter yang harus diperbaiki agar tidak menjadi suatu kebiasaan buruk sehingga dalam permasalahan ini menggunakan paradigma Long Term Paradigma

f. Prinsip Penyelesaian Masalah
Kondisi pandemi membutuhkan empati terhadap beragam kondisi yang ada. Banyak keluarga terkena dampak pandemi sehingga anak-anak mereka pun terkena imbasnya, baik secara ekonomi ataupun hilangnya perhatian akibat kesibukan orangtua mencari pekerjaan. Oleh karena itu, saya menggunakan pendekatan Care Based Thinking untuk mengatasi permasalahan siswa siswi.

g. Opsi Penyelesaian Kreatif
Selain menggunakan proses penyelesaian terhadap siswa siswi bermasalah yang sudah masuk kategori 'rawan' melalui jalur BK, saya juga memikirkan untuk mengubah proses pembelajaran di kelas agar menjadi menyenangkan dan melibatkan orangtua dalam dukungan pembelajaran sehingga siswa siswi merasa tertarik, nyaman, dan 'kecanduan' untuk ikut belajar. Hal ini saya lakukan dengan menerapkan Budaya Positif, Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Couching baik di dalam ataupun di luar kelas.

h. Keputusan yang Diambil
Saya akan melakukan pemantauan dan pembimbingan terhadap siswa siswi yang mengalami masalah cukup rawan. Saya akan melakukan PSE dan Couching dengan mereka di luar jam pembelajaran. Sementara, saya akan terus mempraktikan Pembelajaran Berdiferensiasi dan Pembelajaran Sosial Emosional di dalam kelas hingga terasa nyaman. Selanjutnya, saya akan menggabungkan grup orangtua dan siswa sehingga dapat saling memantau pembelajaran.

i. Meninjau Kembali Keputusan
Saya akan mengecek kembali semua tahapan yang sudah saya lakukan hingga menghasilkan keputusan tersebut. Selanjutnya, saya akan memastikan semua keputusan berjalan sesuai yang direncanakan. 

3. Hasil Aksi Nyata
Pelaksanaan aksi nyata tentu tidak semudah yang dibayangkan oleh kita, apalagi siswa siswi baru saja kembali masuk secara normal bertahap. Diperlukan ketekunan dari seorang guru, termasuk saya agar aksi nyata yang dilakukan berhasil dan diserap dengan baik oleh siswa siswi. Berikut ini adalah beberapa catatan dari aksi nyata yang saya lakukan.

a. Budaya Positif
Aksi nyata Budaya Positif dilakukan dengan membuat kesepakatan kelas bersama siswa. Meskipun terlambat, namun saya mencoba untuk tetap melakukannya sehingga ke depan saya dan siswa di kelas memiliki kesepakatan yang dapat mendorong kenyamanan belajar siswa siswi. Selanjutnya, saya sebagai guru akan selalu mengingatkan kesepakatan kelas yang telah dibuat dan ditempel dalam kelas.

Apakah setelah ditempel selesai? Tentu saja tidak. Hal itu belum menjadikannya sebagai budaya positif. Saya sebagai guru harus selalu tetap mengingatkan mereka pada setiap pertemuan kelas. Branding kelas mereka masing-masing selalu saya 'teriakan' agar mereka termotivasi dan semangat belajar. Misalnya, saya menyapa mereka ketika awal dan akhir pembelajaran dengan memanggil "MIPA LIMAAA" maka mereka akan menjawab TERBESAR. Lalu saya akan bertanya kepada mereka kembali, apa itu TERBESAR? Dan mereka akan menjawab dengan penuh semangat.... Terbaik, Bersih, Sopan Santun, dan Rajin. Begitu juga dengan kelas lainnya. Hal ini menjadi bagian dari perencanaan pengambilan keputusan saya untuk menjadikan setiap kelas memiliki budaya positif yang meyenangkan.

Contoh Kesepakatan Kelas sebagai salah satu bentuk penerapan Budaya Positif 
yang sudah dibuat setiap kelas

 Ketua Kelas memimpin dan menampilan Kesepakatan Kelas 
sebelum didesain untuk dipajang di kelas

b. Pembelajaran Berdiferensiasi
Aksi nyata berikutnya adalah penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi dalam proses pembelajaran di kelas. Seperti yang sudah dijelaskan dalam latar belakang mengenai kondisi dalam kelas, saya memilih untuk mulai menerapkan Pembelajaran Berdiferensiasi kembali di kelas. Berbekal materi tentang Pembelajaran Berdiferensiasi yang saya peroleh dari pembelajaran di PPGP ini, saya mulai memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Saya mulai mencoba menerapkan diferensiasi produk dalam penugasan siswa siswi. Meskipun belum semua kelas  melakukannya dengan tepat, namun secara umum saya merasa cukup puas dengan keaktifan siswa siswi ketika menerapkannya. Mereka menjadi lebih bersemangat dan aktif berinteraksi dengan teman-temannya.

Silakan klik untuk melihat video ringkas proses pembelajaran di kelas



Saling berkunjung antarkelompok untuk mendengarkan paparan materi 
dan memberikan penilaian sebaya


Setiap kelompok siswa bebas memilih posisi kelompoknya dan salah satu atau 
2 orang anggotanya akan berjaga, menunggu kedatangan anggota kelompok lain. 
Silakan klik untuk melihat video ringkat pembelajaran.


Pada akhir materi pembelajaran, sebelum ulangan, saya mengajak anak-anak untuk melakukan refleksi pembelajaran dengan menemukan nilai-nilai karakter positif yang terdapat dalam materi tersebut dan memberikan contoh penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, saya juga mengajak siswa siswi untuk memberikan penilaian terhadap teman-temannya setelah mendengarkan teman-teman kelompok lain memberikan penjelasan tentang refleksi yang dibuatnya. Mereka memberikan tanda bintang antara 1 sampai 5 untuk menilai kelompok temannya dalam merefleksikan hasil pembelajaran. Menarik sekali.

Penilaian teman sebaya dengan memberikan bintang 1 sampai 5 setelah mendengarkan 
paparan dan kemampuan menjawab pertanyaan setiap anggota kelompok yang dikunjungi
Silakan klik untuk melihat video ringkas pembelajaran.


Pembelajaran Berdiferensiasi merupakan perencanaan dalam pengambilan keputusan pemimpin pembelajaran berikutnya yang saya pilih untuk mengubah mindset mereka bahwa belajar sejarah pun dapat menyenangkan. Kelas adalah taman belajar bagi mereka.

3. Pembelajaran Sosial Emosional
Kondisi pandemi dan perubahan sistem pembelajaran juga berdampak terhadap kondisi perekonomian keluarga dan siswa siswi itu sendiri. Banyak siswa yang menghilang, tidak mengikuti pembelajaran dan sulit beradaptasi dengan sistem PJJ. Guru dan wali kelas bekerja keras untuk mengembalikan siswa siswi kepada kondisi terbaik dalam mengikuti pembelajaran. Salah satunya dengan penerapan Pembelajaran Sosial Emosional ini. Saya sebagai guru harus tetap tenang dan sabar dalam menghadapi kondisi siswa tersebut. Di sisi lain, saya juga harus mampu membangkitkan kembali semangat belajar siswa.

PSE dilakuan untuk menjalin kedekatan emosional siswa dan guru. 
Dapat melalui teknik STOP, Ice Breaking, ataupun komunikasi yang hangat. Silakan klik link https://youtu.be/Z0P57IlNf_s untuk melihat video lengkap penerapan PSE dalam proses pembelajaran di kelas.

Penerapan Pembelajaran Sosial Emosional sebenarnya merupakan hal yang penting pada masa pandemi ini. Bukan hanya siswa, orangtua pun perlu dorongan semangat untuk mendampingi putra putrinya belajar di rumah. Tidak jarang saya mendapat curhatan dari orangtua terkait kesulitan mereka mendampingi putra putrinya belajar. Nah, hal inilah yang mendorong saya untuk membuatkan piagam sederhana kepada orangtua siswa siswi perwalian saya yang telah bekerja keras, sabar mendampingi mereka hingga lulus. Respon positif dari orangtua. Mereka bahkan menunjukkan kebanggan dengan menjadikan piagam ini dalam status wa mereka. Saya pun merasa bahagia dengan antusias tersebut.



Menjalin kedekatan emosional dengan orangtua melalui apresiasi terhadap 
pembimbingan orangtua kepada putra putrinya selama pembelajaran di rumah.


Penerapan Pembelajaran Sosial Emosial bagi siswa dan orangtua adalah pengambilan keputusan yang saya pilih untuk membangun kedekatan dan kepercayaan emosional dengan siswa siswi dan orangtua sehingga saya dapat berkolaborasi dalam meningkatkan pendidikan putra putrinya. 


4. Couching

Couching merupakan salah satu keterampilan bagi seorang guru yang diperlukan ketika menghadapi anak yang bermasalah. Namun demikian, couching juga dapat kita praktikkan kepada rekan guru dan orangtua. Tujuan dari couching adalah untuk menggali potensi couchee agar mampu menemukan solusi dari permasalahannya sendiri. Seorang guru yang bertindak sebagai couching tidak boleh memberikan solusi. Saya mencoba mempraktikan couching dengan model TIRTA ini kepada siswa dan rekan guru. Meskipun belum terbiasa dan masih sedikit bingung dalam membuat pertanyaan, namun secara umum couching sudah dapat dilakukan. Ketika pendampingan individu 4 oleh Pengajar Praktik Ibu Suci Mustika Hati dan saya mempraktikannya langsung, beliau pun mengatakan sudah baik. Bahkan beliau memuji ketika saya melakukan kontak mata dengan couchee pada saat dialog karena jarang juga yang mampu melakukan kontak mata ketika sedang melakukan couching.

Silakan klik link https://youtu.be/XxK_s9qdEDU untuk melihat 
video lengkap couching siswa


Silakan klik untuk melihat video ringkas couching rekan kerja


Dalam setiap aksi nyata yang saya rencanakan dan terapkan, tidak lupa selalu melakukan diskusi dengan Waka Kurikulum, Ibu Heni Yulia Sari. Beliau adalah sosok pemimpin yang luar biasa. Selalu memberikan masukan positif dan semangat terhadap kegiatan saya, namun beliau juga tak segan untuk ikut belajar bersama saya. Kami berdiskusi banyak tentang model Pembelajaran Berdiferensiasi dan Pembelajaran Sosial Emosional yang akan diterapkan dalam Implementasi Kurikulum Merdeka nanti.


PERASAAN (FEELINGS)
Setiap kali modul sudah sampai pada kegiatan akhir dan berhadapan dengan aksi nyata, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Aksi nyata merupakan point penting bagi seorang Calon Guru Penggerak. Setelah CGP belajar teori melalui LMS maka kita harus mempraktikkannya sehingga materi yang diperoleh betul-betul dirasakan manfaatnya. Namun, melakukan aksi nyata tidaklah mudah. Saya membutuhkan dukungan dari lingkungan saya, baik rekan guru, siswa, orangtua, dan kepala sekolah. Saya juga harus betul-betul merencanakan aksi nyata agar tepat waktu dan sesuai target yang ingin dicapai. Inilah yang membuat saya merasa khawatir jika tidak sesuai perencanaan aksi nyata. Namun, ketika aksi nyata telah dilakukan dan berhasil maka saya merasa senang dan puas karena perencanaan saya berhasil.

Saya juga merasa senang dengan dukungan teman-teman, baik di sekolah maupun komunitas lain di luar sekolah. Kami menjadi sama-sama belajar hal baru yang positif untuk bisa kami terapkan. Saya merasa nyaman dan lebih percaya diri dengan dukungan tersebut.
 

PEMBELAJARAN (FINDINGS)
Saya mendapat banyak pembelajaran dari materi-materi yang sudah diberikan dalam LMS dan aksi nyata yang saya lakukan, mulai dari praktik Budaya Positif, Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Couching. Sebagian materi-materi tersebut sudah saya lakukan hanya saja saya belum mengerti bahwa itu adalah bagian dari keempat materi tersebut. Saya belajar untuk kreatif dalam pembelajaran di kelas. Saya belajar mengatur emosi diri saya sendiri agar dapat menjalankan pekerjaan sebagai guru dengan baik dan profesional. Saya belajar untuk membiasakan budaya positif bukan hanya untuk siswa tapi juga untuk diri saya sendiri. Dan saya juga belajar membantu menggali potensi anak untuk menyelesaikan masalahnya secara mandiri, Saya belajar untuk memperbaiki pembelajaran yang saya lakukan di kelas dengan menggunakan beragam materi tersebut. Ini menarik, karena terkadang tidak semua berhasil dilakukan namun saya berusaha untuk melakukan refleksi dan memperbaikinya.

Hal lain yang tidak kalah penting saya pelajari adalah komunikasi dan kolaborasi yang baik. Saya yang sebelumnya tidak percaya diri dan sulit berkomunikasi, perlahan mulai belajar berkomunikasi yang baik dan menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak. Meskipun belum terbiasa sepenuhnya, namun saya bersyukur karena menemukan banyak contoh yang bisa saya jadikan pembelajaran.

 
PENERAPAN (FUTURE)
Dari pembelajaran yang saya peroleh dalam penerapan aksi nyata, saya berusaha untuk melakukan perbaikan perencanaan. Bagi aksi nyata yang sudah baik maka saya akan berusaha untuk memikirkan bagaimana aksi tersebut dapat dilakukan dengan baik, menjaga agar semua berjalan lancar. Hal tersebut tentu dapat dilakukan dengan menjalin komunikasi, kolaborasi secara konsisten, komitmen, dan kontinu di masa mendatang sehingga semuanya akan menjadi terbiasa.

Siswa siswi terbaik akan muncul ketika guru mampu menggali potensi mereka 
dengan melakukan pengambilan keputusan yang tepat sebagai pemimpin pembelajaran


Demikianlah beberapa aksi nyata yang sudah saya lakukan dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran. Guru adalah kunci utama kesuksesan pendidikan negeri ini sehingga menjadi guru adalah suatu anugerah untuk dapat berperan mencerdaskan anak bangsa. Seorang guru harus mampu melakukan pengambilan keputusan yang tepat sebagai pemimpin dalam proses pembelajaran yang dilakukannya, baik di kelas maupun di luar kelas.

Semangat bergerak, tergerak, dan menggerakkan...

Kamis, 05 Mei 2022

KONEKSI ANTARMATERI : PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

Tidak terasa, perjalanan Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4 sudah memasuk modul akhir, yaitu modul 3 dan saat ini kami baru saja menyelesaikan Modul 3.1 dengan materi Pengambilan Keputusan sebagai seorang Pemimpin Pembelajaran. Betul sekali, kita sebagai seorang guru harus memiliki kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran, bukan hanya bagi siswa di kelas, tetapi juga dalam berkolaborasi dengan rekan guru sehingga mampu menciptakan budaya positif dalam lingkungan sekolah kita.

Modul 3 merupakan modul yang luar biasa materinya dengan penanaman konsep, prinsip, paradigma dan langkah-langkah dalam pengambilan keputusan seorang pemimpin pembelajaran. Dan seperti pada modul-modul sebelumnya, kita tidak boleh lupa bahwa setiap materi dalam modul memiliki koneksi antarmateri yang saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, kita tidak bisa langsung mempelajari modul 3 tanpa terlebih dahulu memahami modul 1 dan 2. Nah, mari kita telaah bersama koneksi yang terjalin antara modul 1, modul 2, dan modul 3 dalam Program Pendidikan Guru Penggerak kali ini.

Filosofi Ki Hajar Dewantara, Pratap Triloka menjadi dasar bagi guru dalam menjalankan perannya

Dalam modul 1, kita banyak belajar tentang Filosofi Ki Hajar Dewantara yang didalamnya mencakup Filosofi Pratap Triloka. Apalah sebenarnya Filosofi Pratap Triloka tersebut?Kita lebih mengenalnya dengan semboyan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso. Tut Wuri Handayani. Sebagai guru, kita sudah memahami makna yang terkandung dalam ketiga semboyan tersebut, namun sudahkah kita mencoba mempraktikkannya sebagai seorang pemimpin pembelajaran? Guru sebagai pemimpin pembelajaran bukan lagi menjadi pusat pembelajaran yang mengekang kreativitas siswa, namun sebagai guru harus mampu menjadi teladan, memberikan motivasi dan dorongan kepada siswa agar dapat memaksimalkan potensinya dengan baik. Artinya, guru harus kreatif, inovatif, mampu menemukan model pembelajaran, media dan bahan ajar yang tepat sesuai dengan kebutuhan siswa. Filosofi Pratap Triloka merupakan dasar bagi penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi untuk siswa. Guru sebagai pemimpin pembelajaran harus dapat mengambil keputusan yang tepat dalam pembelajaran berdiferensiasi tersebut.

Selanjutnya, kita akan bicara mengenai nilai-nilai kebaikan, nilai karakter positif yang ditanamkan sejak kita kecil, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Filosofi Ki Hajar Dewantara sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan tersebut. Nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi kekayaan bagi suatu daerah. Seorang anak akan mendapat pendidikan karakter sejak dini. Hal ini tentu akan sangat bergantung pada pola asuh orangtua. Nilai-nilai kebaikan inilah yang kelak akan mempengaruhi seseorang ketika berhadapan pada situasi pengambilan keputusan, baik bujukan moral atau dilema etika. Penanaman nilai-nilai baik yang terinternalisasi dengan benar akan membentuk pribadi berkarakter sehingga ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan, nilai-nilai kebaikan dalam dirinya akan menjadi rambu-rambu agar tidak berbuat salah, melanggar aturan ataupun etika. 

Nilai-nilai kebaikan bukan hanya berlaku bagi kita, guru yang menjadi pemimpin pembelajaran saja. Siswa siswi pun harus kita tanamkan nilai-nilai kebaikan itu sejak dini. Ingatkah ketika kita sampai pada modul 2 tentang praktik Couching? Guru sebagai couch tidak boleh memberikan solusi kepada siswa siswi yang memiliki masalah. Dengan metode TIRTA, guru sebagai couch akan menggali potensi dalam diri siswa siswi tersebut sehingga mereka mampu mengambil keputusannya sendiri. Seperti halnya kita yang akan mempertimbangkan nilai-nilai kebaikan tersebut, maka siswa siswi pun akan sama, baik secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pengambilan keputusan saat mereka sedang couching.

Couching dengan berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan

Begitu pula halnya dengan kita sebagai seorang guru menjadi pemimpin pembelajaran. Nilai-nilai kebaikan akan membantu kita dalam mengontrol emosi sehingga ketika mempraktikkan Pembelajaran Sosial Emosional akan lebih mudah. Ketika kita menghadapi tekanan pekerjaan, menangani permasalahan siswa, melakukan pembelajaran di kelas, praktik pembelajaran sosial emosional tidak boleh kita lupakan. Sebagai contoh, kita harus profesional sebagai guru. Akan tetapi, ketika kita merasa stress, depresi dengan beban pekerjaan akan mempengaruhi pekerjaan kita. Mengajar menjadi tidak fokus. Disinilah kita harus mengingat nilai keadilan, nilai kepedulian agar diri kita tidak sampai terpuruk karena ada siswa siswi yang membutuhkan kita. Jika kita membolos karena sedang merasa stress maka tentu tidak adil bagi siswa siswi, sebaliknya jika kita memahami makna nilai kebaikan maka hal itu tidak akan terjadi.

Nah, sampai disini kita dapat melihat bagaimana koneksi erat antara materi di modul 1 dan 2. Materi-materinya menjadi landasan dalam modul 3 ini. Terutama ketika berhadapan dengan kasus bujukan moral dan dilema etika. Kasus bujukan moral menunjukan dengan jelas mana yang benar dan salah, mana yang sesuai aturan dan tidak sesuai. Namun, seperti halnya bujukan yang dapat mempengaruhi seseorang untuk memilih yang salah dapat saja terjadi. Lain halnya jika nilai kebaikan sudah tertanam dalam diri. Kita tidak akan mudah tergoda melanggar aturan demi kenyamanan pribadi salah. Begitu pula halnya dengan dilema etika yang harus kita perhatikan dengan baik saat melakukan identifikasi masalah dan memperhatikan nilai-nilai kebaikan mana yang saling bersinggungan.

Pengambilan keputusan yang baik akan berdampak positif bagi lingkungan kita karena dalam prosesnya telah melewati tahapan-tahapan yang juga memperhatikan pengaruh yang akan ditimbulkannya. Namun, hal ini tidak mudah. Apalagi jika dalam lingkungan tersebut telah memiliki budaya tersendiri. Perubahan paradigma dapat kita lakukan dengan melakukan perubahan dari dalam diri kita sendiri. Seperti halnya Alur Merdeka Belajar yang selalu memulai dari diri sendiri. Selanjutnya, inilah yang menjadi tantangan bagi seorang Guru Penggerak yaitu melakukan perubahan terhadap lingkungannya. Tentu saja ada kebiasaan-kebiasaan dalam lingkungan kita yang harus diubah ketika dirasakan bertentangan denga aturan, namun dibiarkan saja seperti halnya kasus bujukan moral. Ataukah sebaliknya ada dilema etika yang dihadapi Guru Penggerak ketika harus melakukan perubahan di lingkunganya. Oleh karena itulah kita memerlukan kolaborasi dengan rekan guru, wakil kepala sekolah, dan kepala sekolah. Begitu juga dengan orangtua dan siswa siswinya. Kolaborasi holistik yang terjalin untuk melakukan perubahan paradigma menuju budaya positif yang lebih baik. Ini memang menjadi suatu tantangan bagi kami. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda, kepentingan yang beragam pula sehingga dapat berpengaruh terhadap perubahan paradigma yang ingin dilakukan. Namun, sebagai Guru Penggerak kita tidak boleh menyerah begitu saja. Perubahan sekecil apapun akan sangat berarti. 



Merdeka Belajar akan tercapai ketika guru berhasil menjadi pengambil keputusan yang tepat

Pada akhirnya, koneksi antarmateri akan bermuara pada Merdeka Belajar siswa siswi kita sendiri. Bagaimana pengambilan keputusan yang baik dalam proses pembelajaran dengan memegang nilai kebaikan, prinsip dan paradigma pengambilan keputusan akan mendorong siswa siswi merdeka belajar sesuai potensinya masing-masing. Sekolah bukanlah tempat doktrinisasi pembelajaran, melainkan taman belajar yang seharusnya mampu menlahirkan siswa siswi berkarakter Pancasila dan siap menghadapi jenjang yang lebih tinggi, tantangan yang lebih besar ketika mereka terjun dalam masyarakat. 


Salam Guru Penggerak


Sumber :

1. Modul 3.1 Program Pendidikan Guru Penggerak

2. http://disdikkbb.org/news/merdeka-belajar-belajar-merdeka/

3. http://esqnews.id/berita/hadapi-masa-pandemi-dengan-ilmu-3-0-coaching



SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku), Aksi Nyata Meningkatkan Budaya Literasi Siswa dengan Merdeka Belajar

 Salam Guru Penggerak! Tak terasa modul 3.3 dari Program Pendidikan Guru Penggerak sudah hampir selesai dipelajari. Tersisa dua penugasan la...