Sabtu, 20 Februari 2021

SEKADAR MIMPI YANG TERBERSIT, UNTUK KALIAN....

Indonesia dilanda pandemi Covid 19 yang sudah memasuki tahun kedua. Kondisi negara tidak dapat dikatakan baik-baik saja. Jumlah kasus yang terus meningkat membuat siapapun dirudung was was. Namun demikian, sebagian sudah menganggap pandemi ini sebagai bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Mengajarkan tentang pentingnya untuk selalu menjaga kebersihan dan kesehatan diri dalam kehidupan sehari. 

Hampir semua bidang kehidupan  atau bahkan mungkin semua sektor terkena dampak pandemi. Kehidupan menurun, bukan hanya dari segi perekonomian, tetapi juga dalam pendidikan.... Dunia yang menjadi keseharian saya sebagai guru. Sistem pendidikan berubah drastis. Kita mau tidak mau dipaksa untuk menjalankan pembelajaran jarak jauh berbasis teknologi informasi internet. Menguasainya dalam sekejap dan tetap harus mampu mengajarkannya kepada siswa siswi di rumah.

Pengalaman saya dalam menghadapi Pembelajaran Jarak Jauh tahap awal pandemi mungkin sama saja dengan guru-guru lain di berbagai daerah Indonesia. Bingung, berusaha mencari aplikasi pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kondisi siswa siswi. Yaa, sekolah kami bukan sekolah wah yang perekonomian keluarga siswa siswinya cukup terjamin sehingga tidak ada masalah dengan Pembelajaran Jarak Jauh ini. Beberapa keluarga siswa siswi terkena dampak pandemi, PHK, atau bahkan tak punya perlengkapan untuk belajar daring. Di sisi lain, peran keluarga yang seharusnya berjalan optimal memantau putra putrinya ternyata masih ada kendala. Tidak semua keluarga harmonis, dalam arti orangtua mereka memperhatikan perkembangan putra putrinya yang sedang belajar di rumah dengan baik. Banyak orangtua yang mengaku lelah, bahkan tidak tahu apakah putra putrinya belajar atau tidak, masuk kelas online atau tidak. Sebatas bertanya sudah dianggap cukup. Kesibukan mengejar kebutuhan ekonomi di masa pandemi yang semakin sulit membuat sebagian orangtua tidak dapat berperan maksimal.

Sementara itu, kondisi yang sama pun dialami oleh siswa siswi Indonesia yang mayoritas belum terbiasa dengan Pembelajaran Jarak Jauh ini. Karakter yang belum mandiri menyebabkan siswa siswi merasa blassss dengan pembelajaran online tanpa batas ruang dan waktu. Bangun siang, bebas membuka kelas online bebas mengerjakan tugas dan ulangan tanpa ada lagi yang mengingatkan, menegur langsung seperti halnya ketika mereka belajar tatap muka. Belum lagi bebas berambut gondrong, bebas tanpa pakaian seragam. Menutup kamera saat vicon pembelajaran dan sekalipun dibuka, guru marah sebatas online tanpa bisa langsung memangkas rambut atau menggunting pakaiannya.

Dalam berbagai media, banyak keluhan dilontarkan kepada guru. Mayoritas mengeluhkan guru yang hanya memberikan tugas-tugas saja sehingga siswa siswi kewalahan dan orangtua pun terkena dampaknya. Guru tidak mau mengajar padahal sudah digaji, jadi buat ada bayaran sekolah jika orangtua juga yang harus kerepotan mengajarkan putra putrinya. Sebagai guru, tentu saya merasa sedih, miris mendengar komentar seperti itu. Dalam kenyataannya, kita tetap mencoba berusaha mencari formulasi belajar yang tepat di masa pandemi ini. Tahap awal merupakan masa adaptasi tersulit. Guru benar-benar dipaksa menguasai teknologi untuk pembelajaran. Terbayang bukan dengan guru-guru usia lanjut yang mendekati pensiun, harus mempelajari teknologi masa kini. Saya yang masih terbilang junior pun kesulitan memilih media yang tepat.

Terlepas dari semua problem yang muncul dalam Pembelajaran Jarak Jauh, ada satu hal yang semakin lama semakin mengulik hati dan pikiran saya. Pandemi bukan hanya sekadar mengajarkan tentang kebersihan dan kesehatan, tetapi mengajarkan kita untuk lebih memperbaiki hubungan dalam keluarga. Pembelajaran mandiri atau Self Direct Learning dalam masa pandemi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan sekolah dan keluarga, terutama komunikasi yang terjalin. Dan pandemi menunjukkan betapa mirisnya komunikasi yang terjalin dalam keluarga siswa siswi ini. Bukan hanya siswa siswinya yang menunjukkan karakter, tetapi juga orangtua. 

Saya menemukan orangtua yang nyaris tak peduli dengan pembelajaran anaknya. Bahkan tidak tahu jadwal belajar anaknya. Dan ketika wali kelas menghubungi pun, terkadang tak ada respon. Apapun informasi yang disampaikan dalam grup seakan hanya sekadar dibaca tanpa ada tindak lanjut. Bukan hanya sekali, bahkan berkali merasa gagal sebagai wali kelas di masa pandemi. Tidak mampu menjalin komunikasi yang baik dengan mereka, orangtua dan siswa siswi. Di sisi lain, sebagai orangtua yang memiliki anak remaja, yang juga bersekolah di masa pandemi, mengajarkan diri saya untuk memperbaiki peran saya sebagai orangtua. Apa yang saya rasakan sebagai guru berhadapan dengan orangtua dan siswa di masa pandemi, tidak ingin saya alami pada anak saya. Saya berusaha menjalankan peran orangtua sebaik mungkin membantu anak saya dalam belajar secara online. Memang betul, sulit karena kita bukan guru semua mata pelajaran. Akan tetapi, saya berusaha untuk belajar. 

Awal pandemi.... awal Pembelajaran Jarak Jauh, saya memasang target untuk diri saya sendiri agar mampu mengajarkan anak saya belajar mencari informasi belajar dari internet, searching google. Belajar untuk menggunakan google classroom dengan baik sehingga ke depan anak saya bisa mandiri belajar. Komunikasi setiap waktu untuk pembelajaran dia. Saya harus tahu jadwal, semua tugas-tugasnya, teman-temannya, gurunya. Saya menyempatkan untuk selalu datang ke sekolahnya ketika ada panggilan. Terkadang, anak terlihat cuek tapi mereka memperhatikan kita sebagai orangtua.... Apakah orangtuanya peduli dengan dirinya atau tidak, peduli dengan kegiatannya atau tidak.... Percayalah....

Kerja memang menjadi lebih berat, lelaahhhh.... tapi saya tidak mau kehilangan anak saya dalam pembelajaran ini. Apalagi sebagai guru, ketika kita mengajar anak orang, bagaimana dengan anak kita sendiri.... Dengan beragamnya permasalahan terkait hubungan orangtua dan anak, terutama dalam hal komunikasi menyadarkan saya betapa pentingnya pendidikan usia dini dalam keluarga, terutama pendidikan agama yang kelak akan menjadi fondasi. Beberapa kali saya menemukan orangtua yang mengaku menyerah, susah membangunkan anaknya pagi untuk masuk belajar. Padahal, kita sebagai umat Islam wajib melaksanakan shalat Subuh dan tidur setelah waktu Subuh merupakan salah satu waktu tidur yang dibenci Allah SWT. Ada juga orangtua yang tidak tahu menahu mengenai jadwal belajar anaknya sehingga ketika diberitahu anaknya banyak tidak mengerjakan tugas hanya dapat menjawab '.... kata anak saya ga ada belajar....". Miris, padahal jadwal belajar online tetap sama mulai pukul 07.00 s.d 12.15 setiap harinya. Yang membedakan hanya ada yang menggunakan daring asinkron atau daring sinkron. Melalui e learning atau melalui video conference. 

Hal lain yang membuat saya sedih jika boleh dikatakan lebay adalah kegiatan pembiasaan pagi yang diisi dengan literasi, menyanyikan lagu nasional, dan tadarus. Oleh karena saya sangat menginginkan anak-anak ini dekat dengan nilai-nilai agama yang diharapkan mampu mendorong kesadaran dan tanggung jawabnya maka saya mengutamakan tadarus dan Asmaul Husna di pagi hari itu. Tak lebih dari 15 menit kita menyanyikan Asmaul Husna dan Tadarus bersama namun, hanya segelintir anak yang mengaji dengan jelas suaranya. Selebihnya menutup kamera dan speakernya. Seorang siswa memberitahu bahwa jika kamera dan speaker off maka dapat dipastikan anak tersebut sedang tidur. Yuupppp, sesekali saya mencoba memancing dengan mengabsin langsung dan betul saja.... Tidak ada yang menyahut. Kehadiran mereka dalam room vicon hanyalah sekadar masuk saja, nama terpajang dan dianggap hadir harapannya. Sementara mereka sendiri entah kemana. Ini yang paling menyedihkan buat saya karena mereka sudah menganggap remeh kegiatan keagamaan dari keyakinannya sendiri. Dimana kebanggaan mereka sebagai umat muslim? Akan jadi seperti apakah generasi muda Indonesia tanpa landasan agama yang kuat? Tak ada tiang penyangga keimanan mereka dalam menghadapi pengaruh negatif.


Kekhawatiran pada pandemi yang tak kunjung selesai bukan pada penurunan kualitas pendidikan semata. Akan tetapi, penurunan akhlak generasi muda yang disebut-sebut sebagai generasi muda milenial ini. Kehancuran suatu bangsa ketika keluarga sudah tidak lagi saling memperhatikan, sibuk dengan urusan masing-masing dan generasi muda mengalami kemunduran akhlak. Agama hanya menjadi sekadar tempelan dalam katu tanpa ada kebanggaan nyata menganutnya. Pandemi menjadi tantangan terbesar untuk melepaskan diri dari kondisi seperti ini sekaligus membangun kembali kekuatan keluarga yang harmonis dengan mengedepankan agama sebagai fondasi. Sayangnya, tidak semua orang menyadarinya. Orientasi pada dunia menyita waktu pikiran mereka sehingga intropeksi terhadap permasalahan yang ada tidak terjadi.

Dalam kondisi inilah, melihat pentingnya peran agama dan keluarga menumbuhkan keinginan untuk membangun sekolah berbasis agama. Bahkan saya merasa perlu pendidikan agama ini menjadi hal utama dalam sekolah. Ketika keluarga belum mampu secara maksimal berperan dalam mengajarkan nilai-nilai agama, maka sekolah dapat berkolaborasi mengajarkan nilai-nilai agama tersebut kepada anak. Pentingnya peran guru agama di sekolah-sekolah umum, bukan hanya sekadar menjadi tempelan dalam mata pelajaran saja. Bahkan, semua guru harus mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan itu dalam mata pelajaran yang diampunya. Bagi sekolah berbasis agama, hal ini tentu sudah biasa. Setiap materi dikaitkan dengan agama sehingga menumbuhkan keyakinan dan kebanggaan terhadap agamanya.

Yaaa.... Ini hanya sekadar mimpi.... Bagaimana Indonesia bisa memajukan pendidikannya dengan memperbaiki akhlak setiap generasinya dan dimulai dari diri kita sendiri. Apapun posisi kita, agama adalah pedomannya. keluarga adalah kunci utama membangun generasi muda berakhlak mulia.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku), Aksi Nyata Meningkatkan Budaya Literasi Siswa dengan Merdeka Belajar

 Salam Guru Penggerak! Tak terasa modul 3.3 dari Program Pendidikan Guru Penggerak sudah hampir selesai dipelajari. Tersisa dua penugasan la...