Senin, 11 Juli 2022

SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku), Aksi Nyata Meningkatkan Budaya Literasi Siswa dengan Merdeka Belajar

 Salam Guru Penggerak!

Tak terasa modul 3.3 dari Program Pendidikan Guru Penggerak sudah hampir selesai dipelajari. Tersisa dua penugasan lagi yang masih harus kami, Guru Penggerak, lakukan, yaitu Aksi Nyata dan Berbagi Aksi Nyata dalam forum. Pada materi sebelumnya, kami sudah diberi penugasan untuk menyusun satu program ataupun kegiatan, baik secara intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikulur yang berdampak pada siswa. Artinya, visi dan tujuan program jelas untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para siswa. Adapun pengaruh terhadap murid tersebut bukan hanya jangka pendek (output) namun juga yang terpenting adalah pengaruh jangka panjang (outcome) yang tercermin dalam karakter, pengetahuan, dan keterampilan yang akan selalu mereka ingat dan lakukan.

Pada penugasan sebelumnya, saya menyusun kegiatan intrakurikuler yang bernama SaKaSaKu atau Satu Kelas Satu Buku. Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan intrakurikuler yang dapat dilakukan sebagai bagian dari penugasan dalam pembelajaran. Dapat dilakukan oleh mata pelajaran apa saja yang memiliki kesesuaian dalam materi dan penugasan sebagai salah satu bentuk penilaian akhirnya. Rubrik penilaian disiapkan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dengan pemahaman mteri yang dituangkan dalam karya berupa tulisan. Guru dapat berkolaborasi dengan matapelajaran lainnya yang sesuai ataupun melakukannya mandiri di mata pelajarannya sendiri.

FACT

Mengapa SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku)? Ada beberapa alasan yang mendorong saya untuk merencanakan kegiatan SaKaSaKu bagi siswa sebagai berikut.

  1. Masih rendahnya rapor mutu sekolah untuk kemampuan literasi siswa. Hal ini juga tercermin dalam pemberian soal-soal yang cenderung membutuhkan kemampuan membaca artikel, namun siswa malas untuk membaca artikel sehingga tidak masimal dalam mengerjakannya. Model soal-soal HOTS, AKM, yang membutuhkan kemampuan berliterasi menjadi tantangan bagi siswa untuk lebih meningkatkan kemampuannya dengan baik.
  2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeluarkan pendapat (suara) dalam menyusun tema buku, memilih jenis karya yang akan ditampilkan (puisi, gambar, esai), dan kepemilikan murid karena mereka terlibat langsung dalam proses pelaksanaannya sehingga muncul sense of belonging, rasa memiliki terhadap program yang diikutinya. Hal ini sesuai dengan Prinsip Pembelajaran Berdiferensiasi yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih dalam proses pembelajarannya dengan dibimbing oleh bapak dan ibu guru.
  3. Murid-murid SMAN 10 Bogor banyak juga yang memiliki hobi menulis, tetapi belum menemukan wadah untuk mengekspresikan hobi tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya Komunitas Literasi 10 yang menjadi wadah bagi setiap siswa dengan hobi berliterasi dan berkarya. Mereka menjadi pelopor gerakan literasi sekolah dan membantu teman-temannya untuk ikut serta mengembangkan kemampuan literasinya.  
  4. Dari hasil analisis karakteristik sekolah berdasarkan 7 aset yang dimiliki, program ini memiliki daya dukung yang cukup baik. SMAN 10 Bogor memiliki modal manusia, tenaga pendidik yang kompeten untuk melakukan kolaborasi membimbing murid-murid dalam menjalankan program ini. Beberapa guru Bahasa Indonesia tercatat sebagai Instruktur Nasional dan penulis buku ataupun media lainnya sehingga dapat membimbing dan memotivasi murid untuk berkarya.

Setelah menyusun rencana mengenai kegiatan tersebut, saya pun mulai menyampaikan ide tersebut kepada Waka Kurikulum Sekolah, Ibu Heni Yuliasari, M.Pd. Saya mulai menjelaskan gambaran tentang pelaksanaan ide tersebut dan menekankan bahwa ini bukanlah kegiatan pada mata pelajaran tertentu saja tetapi dapat digunakan pada mata pelajaran lainnya ataupun kolaborasi antarmata pelajaran. Beliau menyambut positif kegiatan tersebut. Kebetulan, dikarenakan sekolah kami akan masuk menjadi sekolah penggerak maka diperlukan banyak ide mengenai program-program yang berdampak positif dan konkrit kepada siswa.

Selanjutnya, saya juga mulai membangun komunikasi kembali dengan siswa siswi Komunitas Literasi 10 yang merupakan pelopor Gerakan Literasi Sekolah. Komunitas ini sempat menjadi vakum ketika masa pandemi karena keterbatasan pertemuan dan komunikasi. Namun, setelah sekolah tatap muka dibuka kembali maka mereka mulai menggiatkan kembali literasi sekolah. Dengan dibantu oleh Guru Bahasa Indonesia, Ibu Lusi Dahniar, S.Pd yang juga merupakan salah satu Instruktur Nasional dan juri berbagai lomba kebahasaan, kami mengadakan pertemua kecil dan membahas kegiatan tersebut bersama Kepala Sekolah, Ibu Hj. Enung Nuripah, S.Pd., M.Pd.

Pertemuan Komunitas Literasi 10 dengan Kepala Sekolah, Ibu Hj. Enung Nuripah, S.Pd., M.Pd
 dan Ibu Lusi Dahniar, S.Pd  


Kegiatan SaKaSaKu merupakan kegiatan pembelajaran yang menjadi apresiasi bagi siswa siswi setelah mereka mengerjakan tugas mereka. Adapun langkah-langkah yang saya lakukan dalam mewujudkan aksi nyata kegiatan SaKaSaKu sebagai berikut.
  1. Bekerja sama dengan anggota Komunitas Literasi 10 untuk mempromosikan kegiatan literasi dan manfaatnya bagi siswa siswi SMAN 10 Bogor. Hal ini dilakukan dengan membuat media sosial Komunitas Literasi 10 dan memposting beragam kegiatan literasi, baik di media sosial Komunitas Literasi 10 ataupun media sosial SMAN 10 Bogor.
  2. Memilih materi yang bentuk penilaiannya dapat berupa karya tulis sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Tidak semua materi dapat menggunakan bentuk penilaian karya tulis, sehingga kita perlu menganalisis KI/KD/CP mata pelajaran terlebih dahulu.
  3. Menyusun teknis pembuatan dan rubrik penilaian yang disampaikan kepada siswa siswi menjelang akhir pembelajaran. 
  4. Membagi kelompok di setiap kelas sesuai dengan minat mereka dalam memilih tema yang akan dijadikan bahan tulisan. Untuk kelas XII, karena materi yang membahas tentang sejarah internasional serta keterampilan mereka dalam berkarya seni cukup baik maka saya menawarkan kesepakatan kepada mereka untuk membuat karya dalam bentuk komik. Mereka bebas menggunakan bahan membuat komik, tapi saya menyediakan media pembuatan komik dalam bentuk kertas plano ukuran besar (kartun) atau kertas HVS.  
  5. Menyusun waktu pengerjaan komik dalam beberapa pertemuan. Semua proses pembuatan komik dilakukan di kelas sehingga saya dapat menilai proses pengerjaan komik tersebut.



Proses pembuatan komik di media kertas hvs



Pembuatan komik menggunakan media kertas plano


Sementara untuk kelas X, saya memilih materi tentang tokoh pahlawan Indonesia. Nilai-nilai karakter yang menginspirasi dari tokoh-tokoh tersebut kepada generasi muda sekarang. Saya membebaskan anak-anak untuk berekpresi dalam menyampaikan pendapatnya tentan nilai karakter pahlawan Indonesia pilihannya, ada yang membuat puisi, ada yang memberikan pernyataan langsung. Mereka mengisi form dan saya mengumpulkannya dalam excel untuk memeriksanya kembali. Hasil tulisan mereka akan menjadi satu kumpulan tulisan tentang nilai-nilai karakter kepahlawanan Indonesia.


Kumpulan tulisan siswa siswi dalam bentuk opini singkat dan puisi 
tentang pahlawan Indonesia


FEELING

Aksi nyata kegiatan SaKaSaKu membuat saya merasa was was, khawatir, takut jika kegiatan ini tidak berjalan sesuai rencana atau tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Kegiatan ini adalah kegiatan baru bagi siswa siswi. Tentu saja berhadapan dengan hal baru membuat respon yang berbeda-beda. Ada siswa yang sudah terbiasa dengan menulis tetapi ada juga yang merasa kesulitan meskipun saya sudah memberikan kebebasan pada mereka untuk memilih bahan dan tema. Oleh karena itu, saya harus selalu siap untuk membimbing mereka selama proses pengerjaannya.

Selain itu, saya juga harus teliti dalam menilai dan mengecek setiap karya siswa siswi yang masuk, terutama untuk penugasan di kelas X. Jangan sampai mereka mengutip puisi orang lain. Saya juga harus membantu mereka dalam pilihan kata agar tidak terlihat kaku dalam menulis serta mudah dipahami pembaca. Saya sempat merasa lelah tapi melihat karya anak-anak ini adalah vitamin terbaik saya terus mengajar dan mendidik anak-anak itu dengan baik

SaKaSaKu memang tidak langsung menjadi sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit, tetapi saya mencoba untuk memperkenalkan kepada siswa siswi menuangkan perasaan, mengekpresikan pendapatnya, pemahamannya terhadap materi dalam bentuk karya tulis. Kumpulan karya kelas menjadi antologi, portofolio yang dibuat layaknya sebuah buku. Jika memungkin adanya dana maka tidak menutup kemungkinan akan dibawa pada penerbit untuk dicetak terbit. Jika tidak, maka dapat juga dijadikan e book bahan ajar yang merupakan hasil karya mereka sendiri. Ini tentu akan menumbuhkan kebanggaan tersendiri bagi mereka dan mudah-mudahan dapat menumbuhkan kecintaan mereka terhadap dunia literasi.


FINDING

Setiap kegiatan tentu memiliki pembelajaran yang bermakna bagi kita sebagai seorang guru. Oleh karena itu, setiap kegiatan memerlukan refleksi yang membuat kita menemukan kekurangan ataupun kelebihan dari pembelajaran yang sudah kita lakukan. Tidak terkecuali dalam kegiatan SaKaSaKu yang saya coba praktikan ini. Saya menemukan bahwa merencanakan kegiatan, program apapun tidaklah mudah. Terutama kegiatan, program yang berdampak pada murid. Saya harus betul-betul memikirkan perencanaan, proses, hingga penilaian yang dilakukan. Yang tidak kalah penting juga membuktikan bahwa kegiatan/program ini memang betul-betul berdampak kepada siswa siswi, bukan hanya sekadar pemenuhan tugas, kegiatan, atau program sekolah saja. 

Saya juga belajar bahwa kendala terbesar siswa siswi adalah kurangnya rasa percaya diri dalam menulis. Padahal, ketika melakukan kegiatan ini, saya menemukan banyak potensi tersembunyi dalam diri. Mereka membutuhkan pemantik yang dapat membakar motivasi mereka untuk mulai menulis. Disinilah pentingnya seorang guru mempelajari couching agar dapat menggali potensi tersembunyi itu.

Hal lain yang saya pelajari dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah belum maksimalnya peran siswa siswi Komunitas Literasi 10 di setiap kelas yang diharapkan mampu turut memotivasi teman-temannya membudayakan kegiatan literasi. 


FUTURE

SaKaSaKu merupakan kegiatan yang dapat menjadi praktik baik dalam pembelajaran. Beberapa kelemahan dapat diatasi dengan melakukan evaluasi kegiatan.  Beberapa upaya perbaikan dalam kegiatan SaKaSaKu di masa mendatang sebagai berikut.
  1. SaKaSaKu memerlukan proses pengerjaan yang cukup lama sehingga harus direncanakan dengan baik dan disesuaikan dengan materi
  2. Melakukan koordinasi dengan sekolah agar tujuan SaKaSaKu dapat tercapai dengan baik, terutama dalam upaya penerbitan karya siswa siswi yang tentunya memerlukan biaya 
  3. Melakukan kolaborasi dengan guru mata pelajaran lain yang relevan dengan penugasan SaKaSaKu
  4. Mengaktifkan kembali peran serta anggota Komunitas Literasi 10 sebagai pelopor beragam kegiatan literasi di sekolah
 
 Komik Sejarah Konflik Internasional karya siswa
        

Buku e book opini dan puisi Tentang R.A Kartini karya siswa siswi kelas X MIPA 1



Aksi Nyata Modul 3.3 tentang program/kegiatan yang berdampak pada siswa ini masih belum sempurna. Pada pelaksanaan awal masih memerlukan evaluasi dan perbaikan pelaksanaan di masa mendatang. Namun demikian, ini menjadi pengalaman luar biasa bagi saya untuk senantiasa memikirkan bahwa siswa siswi adalah point utama dalam setiap kegiatan pembelajaran dan merencanakan pembelajaran bermakna adalah tantangan bagi kita sebagai guru untuk menciptakan masa depan gemilang bagi mereka dengan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, karakter yang terbaik.

Sudahkah Anda sebagai guru mencobanya?

Salam Pelajar Pancasila

Senin, 13 Juni 2022

Tik Tok Program yang Berdampak pada Murid di Sekolah dengan Kurikulum Merdeka

Salam Guru Penggerak!

Perjalanan modul dalam LMS akan berakhir di minggu ini. Modul 3.3 menjadi modul penutup rangkaian modul di LMS Program Pendidikan Guru Penggerak. Perjalanan menuju Modul 3.3 ini tidak mudah. Pertama karena saya merasa modul 3 ini adalah modul yang terberat materinya, bukan lagi tentang diri kita ataupun murid. tetapi membahas tentang manajemen sekolah hingga peran guru selayaknya kepala sekolah. Dalam modul 3 kita seakan menjadi wakil kepala sekolah dan kepala sekolah yang harus cerdas dalam mengambil keputusan, mampu memimpin pembelajaran, dan kini mampu menyusun program yang berpihak kepada murid.

Modul 3.3 mengajak saya untuk mengenal lebih dekat dengan program yang berdampak pada murid. Apakah sebenarnya program yang berdampak pada murid itu? 

Bapak dan Ibu tentu masih ingat di awal Modul 3.1 ketika kita belajar tentang menganalisis karakteristik sekolah melalui pendekatan 7 aset. Ini adalah kunci utama dalam membangun sekolah, termasuk didalamnya penyusunan program sekolah yang sesuai dengan karakteristik 7 aset yang kita miliki. Dan salah satu 7 aset tersebut adalah modal manusia yang didalamnya termasuk guru dan murid. Artinya, murid berperan sebagai subjek sekaligus objek dalam organisasi sekolah ini. Murid adalah mitra bagi seorang guru. Dan kita sudah sejak awal diingatkan tentang potensi anak yang beragam dan pengembangan potensi tersebut yang sesuai dengan kodrat zaman serta kodrat alam. Maka, disinilah kita perlu menyusun program yang mampu mengembangkan potensi murid tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka dan karakteristik sekolah.


Penyusunan program tentu tidak mudah, apalagi bagi seorang guru biasa yang bukan duduk dalam manajemen sekolah seperti saya. Ini menjadi tantangan bagi saya untuk mereka-reka seandainya menjadi seorang kepala sekolah ataupun wakil kepala sekolah yang akan menyusun program, maka apa yang harus saya lakukan pertama kali dan selanjutnya? Bagaimana kira-kira dukungan rekan-rekan guru, murid, dan orangtua? Bagaimana pelaksanaannya? Hasil apa yang ungin dicapai? Apakah ketujuh aset sekolah menunjang program tersebut?

Semua pertanyaan tersebut ternyata mengikuti alur BAGJA yang pernah kita pelajari dalam Modul 1 sebelumnya. Ini yang kemudian menjadi tugas selanjutnya dalam menyusun program yang berpihak pada murid dan mampu membawa perubahan terhadap mereka. Program yang berpihak kepada murid sebenarnya tidak selalu harus merupakan program sekolah yang melibatkan banyak pihak. Kita juga dapat menyusun program yang berpihak pada murid dalam mata pelajaran kita sendiri atau sebagai wali kelas. Artinya, program ini bisa dalam bentuk intrakurikuler, kokurikuler, atau ekstrakurikuler.

Sebelum kita mengambil keputusan untuk menentukan program yang akan dibentuk maka kita perlu melakukan analisis menggunakan alur BAGJA yang pernah kita pelajari sebelumnya. Masih ingat dengan BAGJA? B-uat pertanyaan (Define), A-mati ( Discover  ), G-ali mimpi ( Dream), J-abarkan rencana (Design ), dan A-tur strategi ( Deliver). Program yang akan kita susun dari hasil analisis BAGJA harus menunjukkan student agency atau kepemimpinan murid, mempertimbangkan suara, pilihan, dan kepemilikan murid. Dilengkapi pula dengan lingkungan yang mendukung program dan keterlibatan komunitas lainnya dalam program tersebut. Ada 7 lingkungan yang dapat membantu menumbuhkembangkan kepemimpinan murid tersebut seperti berikut ini.

  1. Lingkungan yang menyediakan kesempatan untuk menggunakan pola pikir positif dan merasakan emosi positif
  2. Lingkungan yang mengembangkan keterampilan berinteraksi sosial secara positif, arif, dan bijaksana
  3. Lingkungan yang melatih keterampilan yang dibutuhkan murid dalam proses pencapaian tujuan akademik maupun non akademiknya
  4. Lingkungan yang melatih murid untuk menerima dan memahami kekuatan diri, sesama serta masyarakat dan lingkungan sekitarnya
  5. Lingkungan yang membuka wawasan murid agar dapat menentukan dan menindaklanjuti tujuan, harapan, atau mimpi yang manfaat dan kebaikannya melampau pemenuhan kepentingan individu, kelompok, maupun golongan
  6. Lingkungan yang menempatkan murid sedemikian rupa sehingga terlibat aktif dalam proses belajarnya sendiri
  7. Lingkungan yang menumbuhkan daya lenting dan sikap tangguh murid untuk terus bangkit di tengan kesempitan dan kesulitan

Program yang berdampak kepada murid sebenarnya merupakan program yang berpihak kepada murid dengan menguatkan yang sudah ada (spirit), mendorong kebermaknaan (komitmen), dan menimplementasikan kepemimpinan murid (kontekstual). Murid sebenarnya memiliki student agency yang merupakan kemampuan mereka untuk mengarahkan pembelajaran mereka sendiri, membuat pilihan, menyuarakan opini, mengajukan pertanyaan, dan mengungkapkan keingintahuan. Mereka juga dapat berkontribusi dan berperan dalam komunitas belajar, mengkomunikasikan pemahaman mereka terhadap orang lain, hingga mampu melakukan tindakan nyata dari hasil pemahaman mereka tersebut.

Hal penting lainnya yang tak boleh kita lupakan dalam menyusun program yang berdampak murid adalah kerja sama dengan komunitas lain. Ini sesuai dengan konsep TRI SENTRA PENDIDIKAN yang berusaha mengkolaborasikan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Jika konsep ini berjalan dengan baik maka tidak akan ada lagi orangtua yang mengeluh lelah mengingatkan anak-anaknya karena sejatinya semua orang adalah guru dan belajar dapat dimana saja, tidak terbatas ruang kelas. Memang tidak mudah menjalin kolaborai dari berbagai pihak. 

Selanjutnya, dalam membangun kolaborasi dengan komunitas, kita perlu memperhatikan hal-hal berikut ini.

1) Membangun suasana yang menghargai murid

2) Mendengarkan murid sehingga dapat saling memahami

3) Dialog dengan/atau murid

4) Menempatkan murid dalam kemudi

Kita beruntung dengan adanya Kurikulum Merdeka yang menyediakan ruang bagi guru untuk menjalankan program berdampak pada murid dengan adanya Project Profile Pancasila. Dalam project ini, guru dan murid berperan sebagai mitra yang saling mendukung. Suara, pilihan, dan kepemilikan murid betul-betul dihargai dalam perencanaan project karena merekalah yang akan berdiskusi menentukan tema, bentuk, dan produk yang akan dibuat. Mereka juga yang akan melaksanakan project tersebut dibawah bimbingan guru. Dan project inipun bukan hanya melibatkan 1 atau sekelompok murid saja, tetapi seluruh warga sekolah, bahkan jika mereka project yang mengajak kolaborasi warga sekitar artinya mereka sudah mampu berkomunikasi yang baik dengan pihak luar, komunitas tertentu. 

Bagian ini menjadi point menarik sekaligus mengejutkan bagi saya bahwa ada sinkronisasi antara materi Modul 3.3 tentang Program yang Berdampak pada Murid dengan pelaksanaan Kurikulum Merdeka pada tahun ajaran 2022 nanti. Kami, Guru Penggerak seakan diberikan ruang dan waktu untuk segera mempraktikan apa yang sudah kami pelajari dari modul 3.3. Ini juga memberikan dasar pengetahuan bagi saya sehingga lebih percaya diri ketika harus masuk melaksanakan Kurikulum Merdeka.

Perubahan paradigma dalam diri saya setelah mempelajari Modul 3.3 membuat saya lebih berhati-hati  ketika saya akan melakukan sesuatu atau memutuskan apa yang akan saya rencanakan dalam proses pembelajaran nanti. Betapa pentingnya untuk menjadikan murid sebagai mitra lengkap dengan beragam kebutuhan dan potensi yang dimilikinya sehingga kita sangat perlu mempertimbangkannya dan menyesuaikannya dengan karakteristik sekolah. Kita tidak bisa asal membuat penugasan hanya untuk sekadar ikut-ikutan ingin menunjukkan pembelajaran berdiferensiasi saja. Namun perhatikan kembali urgensi dan kebermaknaan yang dicapainya. Begitu pula ketika kita akan menyusun program yang berdampak pada murid secara keseluruhan, bukan hanya sebagian saja. Ingat, ada suara, pilihan, dan kepemilikan murid yang harus kita perhatikan.

Melakukan sesuatu yang baru selalu menjadi tantangan karena belum tentu semua memahami makna perubahan tersebut atau justru karena tidak terbiasa maka menjadi sulit untuk memahaminya. Ini menjadi tantangan besar bagi saya, ketika murid-murid terlalu asyik dengan pembelajaran konvensional sehingga lamban atau sulit mengikuti perubahan dalam program yang direncanakan. Tantangan juga bagi saya untuk berpikir kreatif dan inovatif dalam membantu murid menemukan project yang diinginkannya. Saya juga harus mampu berkomunikasi yang baik dengan mereka agar terbuka wawasan mereka dan siap mengikuti perubahan masa depan kalian.

Saya percaya sekolah memberikan dukungan penuh terhadap program-program yang berdampak terhadap murid, termasuk Program Project Profile Pancasila yang akan segera dijalankan. Keterbatasan dalam hal aset tidak boleh menjadi hambatan bagi kita untuk merencanakan program-program ini. Saya selalu mengingat pesan seorang Kepala Sekolah Inspiratif, Ibu Eti Herawati dari Garut yang mengatakan bahwa keterbatan aset bukan menjadi halangan untuk mencapai prestasi tanpa batas. 

 


Guru Inspiratif
Murid Kreatif
Sekolah Unggul


Sumber : Modul 3.3 PPGP Angkatan 4 dan koleksi foto pribadi.


Minggu, 29 Mei 2022

KONEKSI ANTARMATERI MODUL 3.2 PENGELOLAAN SUMBER DAYA SEKOLAH : MEWUJUDKAN MIMPI PRESTASI TANPA BATAS DENGAN ASSET TERBATAS

Salam Guru Penggerak!

Setelah hampir 1 bulan kita belajar Modul 3.2 tentang Pengelolaan Sumber Daya Sekolah, kini kita sampai pada akhir kegiatan modul yaitu membuat koneksi materi dari modul pertama hingga modul ketiga ini. Kegiatan yang selalu dilakukan mengingatkan kita bahwa apa yang kita pelajar sejak awal itu selalu berkaitan, berhubungan dan saling mempengaruhi pemahaman kita.

Seperti biasa, Modul 3 masih tetap menjadi modul penuh tantangan, baik secara materi ataupun penugasan. Kita bukan lagi belajar sebagai individu guru, melainkan bagian dari sekolah yang harus berpikir secara holistik untuk turut serta mengembangkan sekolah. Bagi saya yang hanya seorang guru biasa, materi ini menjadi tantangan karena mau tidak mau, saya harus belajar untuk memahami manajemen sekolah. Lantas? Apa hubungannya materi ini dengan materi Modul 1 dan Modul 2 yang lebih banyak berbicara tentang kompetensi pribadi seorang Guru Penggerak? Mari kita telaah satu persatu koneksi yang terbangun antarmodul tersebut.

Salah satu tantangan dalam Program Pendidikan Guru Penggerak dan Implementasi Kurikulum Merdeka adalah mindset. Perubahan mindset seorang guru terhadap kedua hal tersebut menjadi kunci utama karena tanpa perubahan mindset tersebut, maka akan sulit seorang Guru Penggerak ataupun guru lainnya untuk bergerak melakukan perubahan, dengan dimulai dari diri sendiri.

Modul 1 lebih banyak berbicara tentang Filosofi Ki Hajar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak, Visi Guru Penggerak, hingga Budaya Positif yang akan dibangun oleh seorang guru. Jika kita perhatikan, materi-materi ini menjadi materi dasar bagi kami, Guru Penggerak untuk memiliki kesamaan paradigma terhadap pendidikan. Filososi Ki Hajar Dewantara adalah materi yang telah 'menampar' saya sebagai seorang guru yang selama ini kadang egois dalam memperlakukan peserta didik. Materi yang telah mengajarkan saya untuk memanusiakan peserta didik sebagai sebuah potensi yang dengan pembelajaran tepat dapat melejit sebagai aset sekolah. Sebagau guru, kami memiliki nilai dan peran yang mndukung perubahan paradigma pendidikan Indonesia dengan Implementasi Kurikulum Merdeka. Ini pun menjadi tantangan dengan banyaknya respon guru sebagai tombak utama pelaksanaan Kurikulum Merdeka tersebut. Namun, dengan bekal pemahaman nilai, peran, dan visi Guru Penggerak, saya merasa lebih tenang menghadapi perubahan kurikulum tersebut. Bahkan, dalam modul 1 ini, saya sudah mulai mempraktikan Budaya Positif sebagai salah satu aset sekolah yang harus dikembangkan dan harus dimulai dari diri kita sendiri, di dalam kelas yang kita kelola. 

Selanjutnya, setelah kita memahami paradigma seorang Guru Penggerak, kita akan diajak untuk melangkah lebih jauh dalam Modul 2 yang berisi materi tentang Pembelajaran yang Berpihak pada Murid dengan menerapkan Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Couching. Ketiga materi utama dalam Modul 2 menjadi aksi nyata dari Guru Penggerak setelah mengalami perubahan paradigama terhadap pendidikan. Materi Modul 2 ini sangat penting karena berkaitan dengan kompetensi Guru Penggerak, yaitu pemimpin dalam pembelajaran. Ketiganya menjadi bekal bagi seorang guru dalam melaksanakan Implementasi Kurikulum Merdeka nantinya. Selain itu, materi Modul 2 ini juga mengingatkan kembali bahwa bagi seorang guru, proses belajar tidak hanya terbatas di ruang kelas. Seluruh lingkungan sekolah menjadi taman belajar bagi siswa yang menyenangkan dan nyaman. Bukan lagi kaku, tegang, bahkan menyeramkan ketika si anak belajar materi tertentu. 

Menariknya, Modul 2 ini juga bukan menyoroti siswa sebagai objek utama, tetapi kita sebagai seorang guru yang tidak lepas dari kejenuhan mengajar ataupun permasalahan tertentu. Materi Pembelajaran Sosial Emosional dan Couching adalah materi yang dapat kita terapkan untuk diri kita sendiri dan sesama rekan guru. Oleh sebab itulah, dalam kurun waktu sebelum dan setelah mempelajari Modul 2 ini, kita diharapkan lebih mampu mengontrol emosi kita sebagai seorang guru ketika berhadapan dengan permasalahan siswa, pekerjaan, atau hubungan dengan rekan kerja. Dari Modul 1 dan Modul 2, kita mulai diajak beranjak perlahan pada lingkungan sekolah. Jika di awal kita fokus pada perubahan diri sendiri, maka Modul 2 mengajak kita untuk mulai melakukan perubahan pada siswa dan rekan guru melalui proses pembelajaran dan hubungan rekan kerja. Dalam Modul 2, kita sama-sama belajar membentuk Mindfulness dan mencapai Well-Being sebagai seorang guru. 

Setelah kita sebagai guru berhasil membentuk mindfulness dan well-being dalam diri maka selanjutnya kita akan berhadapan dengan permasalahan yang lebih kompleks. Modul 3 mulai membawa kita dalam menjalankan peran sebagai pengambil keputusan dalam kepemimpinan pembelajaran. Dalam keseharian kita sebagai guru, pasti pernah berhadapan dengan beragam masalah. Kita sudah belajar untuk menerapkan mindfulness dan mencapai well-being, artinya kita seharusnya sudah lebih mampu mengontrol diri ketika berhadapan dengan suatu permasalahan. Tidak lagi panik, emosi, tetapi mampu berpikir tenang dan jernih. Menghadapi segala permasalahan dengan penuh kesadaran. Banyak contoh dalam Modul 3.1 tentang permasalahan, mulai dari peran sebagai siswa, orangtua, guru, hingga kepala sekolah. Kami, guru penggerak belajar untuk berada dalam posisi mereka dan melakukan langkah-langkah pengambilan keputusan yang tepat, dengan menggunakan 9 langkah pengambilan keputusan yang sudah diajarkan. Bagaimana kita menggunakan pendekatan dan paradigma pengambilan keputusan untuk menemukan solusi permasalahan, bahkan kita juga belajar untuk mencari solusi kreatif dari permasalahan yang ada.

Apa koneksi yang terjalin antara pengambilan keputusan ini dengan pengelolaan sumber daya sekolah?

Guru Penggerak disiapkan bukan hanya menjadi pemimpin pembelajaran di kelas, namun juga sebagai calon kepala sekolah yang akan memimpin sebuah sekolah, mengembangkan sekolah tersebut menjadi sekolah unggul berkualitas. Dalam Modul 3.2, kita akan belajar tentang asset yang dimiliki sekolah. Ketujuh asset akan membentuk karakteristik sekolah dan menjadi dasar pembentukan visi misi dan tujuan sekolah. Selanjutnya, sekolah akan merencanakan strategi dan program untuk mencapainya. Ketujuh asset sekolah, mulai dari modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal lingkungan, modal finansial, modal politik, dan modal budaya setiap sekolah tentu berbeda-beda. Kita akan melakukan pemetaan dari setiap asset sekolah dan melakukan analisis SWOT sehingga dapat menemukan ciri khas sekolah yang akan dikembangkan menjadi keunggulan sekolah. Nah, disinilah diperlukan pengambilan keputusan yang tepat agar asset sekolah dapat dioptimalkan pemanfaatannya.

Perbedaan pendekatan berbasis masalah dan pendekatan berbasis aset 

dalam pengelolaan sumber daya sekolah


Menariknya, pengelolaan sumber daya sekolah ini bukan hanya menjadi milik kepala sekolah yang akan memajukan sekolahnya saja. Kita sebagai seorang guru, pemimpin pembelajaran juga memerlukan pemetaan dari sumber daya sekolah agar dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran. Merdeka belajar bukan hanya milik siswa siswi saja, tetapi kita sebagai guru juga memiliki kemerdekaan dalam merancang pembelajaran. Inilah bagian dari pembelajaran berdiferensiasi yang akan kita jalani, terutama dalam Implementasi Kurikulum Merdeka. Apakah bukan sebaliknya, guru menjadi repot dengan jargon Merdeka Belajar ini? Pandangan seperti ini tidak boleh ada dalam kamus seorang Guru Penggerak. Merdeka Belajar bagi seorang guru adalah ketika kita diberikan kebebasan untuk menggunakan beragam media ajar, memanfaatkan seluruh lingkungan belajar di sekolah, hingga kebebasan dalam memilih beragam model pembelajaran sesuai dengan karakter siswa siswinya. Di sini, kita dituntut untuk menjadi guru kreatif merancang pembelajaran. 

Saya merasa tersindir keras ketika melihat salah satu tayangan dalam video youtube yang ditampilkan dalam Modul 3.2 ini. Video yang menunjukkan sekolah inpres di pelosok yang sudah berhasil memasukan pengelolaan sumber daya sekolah dan pemanfaatannya dalam kegiatan pembelajaran. Sederhana namun bermakna, ketika anak-anak SD itu mulai belajar dengan menggunakan Desain Thinking yang luar biasa. Antusias mereka mengikuti pembelajaran, pemanfaatan lingkungan belajar di sekolah, hingga nilai-nilai karakter yang ditanamkan dalam setiap pembelajaran tersebut benar-benat inspiratif. Keterbatasan asset tidak menghalangi guru tersebut untuk kreatif merancang pembelajaran bagi siswa siswinya. Saya pikir, inilah mengapa modal manusia menjadi asset utama dalam sumber daya sekolah. 

Bagaimana dengan saya, kita yang menjadi guru di perkotaan? Sudahkah ikut melaksanakan ini semua dan menjadi pemimpin dalam pembelajaran? 

Saya masih terus belajar untuk menerapkan apa yang saya dapatkan dari Program Pendidikan Guru Penggerak dalam kegiatan pembelajaran yang saya rancang untuk anak-anak di kelas. Saya mulai menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional di kelas yang saya ajar. Menarik, karena dalam interview antara siswa dengan Pengajar Praktik, anak-anak itu dapat menyebutkan perubahan dalam cara saya mengajar dan memberikan respon positif terhadap perubahan itu. Saya tidak pernah merekayasa atau membuat skenario ketika proses pendampingan dan observasi kelas. Saya ingin mencari tahu juga, apakah yang saya lakukan berhasil atau masih ada kekurangan. Di sisi lain, saya percaya anak-anak ini mampu menunjukkan potensi terbaiknya tanpa perlu saya minta. Dan ketika kita memberikan kepercayaan kepada mereka, maka mereka pun akan mempercayai kita untuk memaksimalkan potensi belajarnya. Tidak ada anak yang bodoh ataupun malas. Semua memiliki alasan tersendiri. Kita hanya belum dapat menemukan cara yang tepat untuk menggali potensi mereka. Jika gagal, cari lagi cara yang tepat. Tak ada kata menyerah bagi seorang guru dalam mendidik siswa siswinya.  

Berikut ini adalah contoh rancangan sederhana dalam pembentukan dan penerapan Budaya Postif yang mendukung pembelajaran di kelas.

TAHAPAN

PERTANYAAN

TINDAKAN

B (Buat Pertanyaan)

Bagaimana menerapkan Budaya Positif di kelas yang dapat membentuk kenyaman belajar siswa?

Membuat kesepakatan kelas yang mengakomodir keinginan bersama

A (Ambil Pelajaran)

          Bagaimana cara membuat kesepakatan kelas yang baik?

         Siapa saja yang terlibat dalam penerapan Budaya Positif ini?

        Guru membimbing siswa dalam bermusyawarah dan menentukan keinginan bersama

         Semua siswa terlibat dalam proses perumusan kesepakatan kelas.


G(Gali Mimpi)

          Apakah kebiasaan-kebiasaan baru yang muncul dalam kesepakatan kelas ini?

          Bagaimana pola pikir anak-anak dalam menyusun kesepakatan kelasnya?

          Apakah nilai-nilai karakter positif ikut dimasukan dalam kesepakatan kelas yang dibentuk?

          Guru membagi kelompok setiap daftar keinginan siswa yang telah disampaikan. Point-point baru menjadi bahan diskusi bersama.

          Point-point keinginan menunjukkan keberagaman pola pikir anak. Kelas IPA dan IPS memiliki keragaman berpikir yang menarik dan berbeda.

          Nilai-nilai karakter positif yang muncul dalam point keinginan akan dimunculkan sebagai bagian dari kesepakatan kelas, termasuk branding kelas masing-masing yang dapat menambah semangat setiap kelas.


J(Jabarkan Rencana)

         Apa langkah-langkah yang diperlukan agar Kesepakatan Kelas menjadi Budaya Positif kelas tersebut yang tidak dilupakan?

         Adalah solusi alternatif untuk menjadikan Kesepakatan Kelas sebagai Budaya Positif?

         Guru menyampaikan teknis pembentukan kesepakatan kelas pada awal pertemuan dan selalu mengingatkan ketika masuk kelas dalam pertemuan selanjutnya. Demikian pula ketika pembelajaran secara online maka ditampilan terlebih dahulu kesepakatan kelas agar siswa selalu ingat.

         Siswa  mendesain hasil kesepakatan kelas dan menempelnya dalam dinding kelas.


A(Atur Eksekusi)

          Siapa yang terlibat dalam mewujudkan rencana penerapan Budaya Positif di sekolah?

           Bagaimana cara mengkomunikasikan penerapan Budaya Positif terhadap warga sekolah?

           Siapa yang akan bertanggungjawab dalam penerapan Budaya Positif ini?

           Guru meninjau kembali langkah-langkah pembentukan kesepakatan kelas dan memastikan semua pihak terlibat sehingga penerapannya dapat menjadi Budaya Positif sekolah.

           Komunikasi langsung ataupun tak langsing dapat dilakukan, misalnya dengan diskusi sesame rekan guru, siswa, atau menempel poster kesepakatan kelas masing-masing.

          Guru, terutama wali kelas menjadi penanggung jawab terhadap penerapan Budaya Positif sehingga jika ada yang melanggar dapat diberikan sanksi.




Budaya Positif dengan dimulai dari Kesepakatan Kelas akan menunjukkan keberagaman karakter siswa setiap kelasnya. Kesepakatan Kelas yang terbentuk akan mencerminkan potensi kelas tersebut. Setelah diawali dari kelas, selanjutnya secara perlahan kita akan membawa Budaya Positif kelas tersebut menjadi Budaya Positif sekolah.

Yup! Program pendidikan Guru Penggerak memang memberikan banyak pelajaran berharga bagi saya. Mulai dari perubahan pandangan terhadap pendidikan hingga pola pikir positif yang terus terbangun ketika ketika melakukan pekerjaan kita sebagai guru. Jangan pernah takut untuk berubah dan melakukan perubahan, terutama dalam proses pembelajaran kita. Kita adalah pemimpin pembelajaran.

 

Selasa, 24 Mei 2022

AKSI NYATA MODUL 3.1.A.10 PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

Salam Guru Penggerak!

Hampir separuh perjalanan Program Pendidikan Guru Penggerak telah dilalui oleh setiap Calon Guru Penggerak Angkatan 4, termasuk saya sendiri. Saat ini, saya sudah masuk pada Modul 3.2 dan mempunyai kewajiban untuk melakukan Aksi Nyata dari Modul 3.1 tentang Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran. Ini adalah salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh Guru Penggerak untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Dalam kompetensi Pemimpin Pembelajaran, seorang Guru Penggerak harus mampu untuk :
1. Memimpin upaya membangun lingkungan belajar yang berpusat pada murid
2. Memimpin perencanaan dan pelaksanaan proses belajar yang berpusat pada murid
3. Memimpin refleksi dan perbaikan kualitas proses belajar yang berpusat pada murid
4. Melibatkan orangtua sebagai pendamping dan sumber belajar di sekolah

Kompetensi Pemimpin Pembelajaran mendorong Guru Penggerak untuk kreatif dan inovatif dalam membangun proses belajar di kelas dan menjalin kolaborasi dengan orangtua untuk mendukung proses pembelajaran dari putra putri mereka di sekolah. Oleh karena, saya pun mulai merancang aksi nyata untuk menjalankan kompetensi tersebut. Apa sajakah yang sudah saya rancang dalam aksi nyata ini? Marilah kita sama-sama melihat aksi nyata sebagai sebuah proses pembelajaran dengan menggunakan model 4 F (Facts, Feelings, Finding, Future)

PERISTIWA (FACTS)
1. Latar Belakang
SMA Negeri 10 Kota Bogor merupakan sekolah yang berada di perbatasan wilayah kota dan kabupaten yang berdampak terhadap karakteristik siswa siswinya. Keberagaman tersebut sulit diatasi ketika pandemi datang dan sekolah terpaksa melakukan sistem pembelajaran jarak jauh. Interaksi yang terbatas menyebabkan proses pembelajaran tidak dapat berjalan lancar. Akibatnya, kompetensi siswa pun tidak maksimal dan Guru tidak dapat melihat potensi setiap anak secara utuh. Kondisi ini tentu memerlukan perubahan dalam proses pembelajaran. Saya sebagai guru harus merencanakan dan memutuskan model pembelajaran yang tepat untuk mereka. Apalagi saya mengajar mata pelajaran sejarah yang sarat dengan bacaan dan hapalan bagi mereka. Mindset siswa siswi bahwa sejarah adalah pelajaran yang membosankan harus dapat saya ubah, terutama dalam masa pandemi yang penuh keterbatasan. 

Dari materi yang saya peroleh dalam Program Pendidikan Guru Penggerak, saya mendapat banyak pengetahuan, wawasan tentang upaya membangun proses pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, dan nyaman bagi siswa siswi sehingga potensi mereka dapat maksinal. Salah satunya adalah dengan menerapkan Budaya Positif, Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Couching. 

2. Alasan
Kondisi pembelajaran yang belum maksimal menjadi salah satu alasan saya untuk melakukan aksi nyata Budaya Positif, Pembelajaran Berdiferensiasi, dan Pembelajaran Sosial Emosional di kelas. Ketiga aksi tersebut menjadi kunci untuk menggali potensi anak, menumbuhkan karakter positif, dan memberikan kenyaman belajar bagi siswa setelah sekian lama melakukan PJJ dan mengalami ketertinggalan dalam pendidikan dengan berbagai alasan yang muncul. Dalam langkah pengambilan keputusan untuk melakukan hal tersebut, saya memulainya dalam 9 langkah berikut ini.

a. Analisis Nilai Bertentangan
Kondisi tersebut menunjukan adanya nilai yang bertentangan antara nilai karakter negatif siswa siswi yang semakin menurun dengan tidak mengikuti pembelajaran sebaik mungkin dan nilai-nilai pendidikan yang coba ditanamkan oleh sekolah kepada siswa siswinya. Keduanya menjadi bertentangan dalam kondisi tersebut.

b. Pihak yang Terlibat
Kondisi tersebut melibatkan siswa sebagai subjek utama, orangtua, dan guru. Semua pihak harus berkolaborasi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

c. Fakta yang Relevan
Beberapa fakta yang muncul dalam kondisi permasalahan tersebut adalah menurunnya nilai siswa dan tingkat kehadiran siswa dalam pembelajaran. 

d. Pengujian Benar atau Salah
1) Uji Legal : Sikap siswa siswi tersebut dipandang tidak melanggar hukum
2) Uji Regulasi : Sikap siwa tersebut telah melanggar tata tertib sekolah
3) Uji Uji Institusi : Sikap siswa dalam institusi sekolah adalah salah
4) Uji Halaman Depan Koran : Permasalahan siswa merupakan masalah intern yang akan tidak nyaman jika dimuat dalam halaman depan koran karena dapat membuat nama institusi jelek. 
5) Uji Panutan : Siswa diberikan panutan yang dapat memotivasi untuk mencontoh perilaku positif panutannya tersebut, dalam hal ini bisa saja seorang guru yang disiplin dan profesional

e. Penggunaan Paradigma
Sikap siswa berkaitan dengan karakter yang harus diperbaiki agar tidak menjadi suatu kebiasaan buruk sehingga dalam permasalahan ini menggunakan paradigma Long Term Paradigma

f. Prinsip Penyelesaian Masalah
Kondisi pandemi membutuhkan empati terhadap beragam kondisi yang ada. Banyak keluarga terkena dampak pandemi sehingga anak-anak mereka pun terkena imbasnya, baik secara ekonomi ataupun hilangnya perhatian akibat kesibukan orangtua mencari pekerjaan. Oleh karena itu, saya menggunakan pendekatan Care Based Thinking untuk mengatasi permasalahan siswa siswi.

g. Opsi Penyelesaian Kreatif
Selain menggunakan proses penyelesaian terhadap siswa siswi bermasalah yang sudah masuk kategori 'rawan' melalui jalur BK, saya juga memikirkan untuk mengubah proses pembelajaran di kelas agar menjadi menyenangkan dan melibatkan orangtua dalam dukungan pembelajaran sehingga siswa siswi merasa tertarik, nyaman, dan 'kecanduan' untuk ikut belajar. Hal ini saya lakukan dengan menerapkan Budaya Positif, Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Couching baik di dalam ataupun di luar kelas.

h. Keputusan yang Diambil
Saya akan melakukan pemantauan dan pembimbingan terhadap siswa siswi yang mengalami masalah cukup rawan. Saya akan melakukan PSE dan Couching dengan mereka di luar jam pembelajaran. Sementara, saya akan terus mempraktikan Pembelajaran Berdiferensiasi dan Pembelajaran Sosial Emosional di dalam kelas hingga terasa nyaman. Selanjutnya, saya akan menggabungkan grup orangtua dan siswa sehingga dapat saling memantau pembelajaran.

i. Meninjau Kembali Keputusan
Saya akan mengecek kembali semua tahapan yang sudah saya lakukan hingga menghasilkan keputusan tersebut. Selanjutnya, saya akan memastikan semua keputusan berjalan sesuai yang direncanakan. 

3. Hasil Aksi Nyata
Pelaksanaan aksi nyata tentu tidak semudah yang dibayangkan oleh kita, apalagi siswa siswi baru saja kembali masuk secara normal bertahap. Diperlukan ketekunan dari seorang guru, termasuk saya agar aksi nyata yang dilakukan berhasil dan diserap dengan baik oleh siswa siswi. Berikut ini adalah beberapa catatan dari aksi nyata yang saya lakukan.

a. Budaya Positif
Aksi nyata Budaya Positif dilakukan dengan membuat kesepakatan kelas bersama siswa. Meskipun terlambat, namun saya mencoba untuk tetap melakukannya sehingga ke depan saya dan siswa di kelas memiliki kesepakatan yang dapat mendorong kenyamanan belajar siswa siswi. Selanjutnya, saya sebagai guru akan selalu mengingatkan kesepakatan kelas yang telah dibuat dan ditempel dalam kelas.

Apakah setelah ditempel selesai? Tentu saja tidak. Hal itu belum menjadikannya sebagai budaya positif. Saya sebagai guru harus selalu tetap mengingatkan mereka pada setiap pertemuan kelas. Branding kelas mereka masing-masing selalu saya 'teriakan' agar mereka termotivasi dan semangat belajar. Misalnya, saya menyapa mereka ketika awal dan akhir pembelajaran dengan memanggil "MIPA LIMAAA" maka mereka akan menjawab TERBESAR. Lalu saya akan bertanya kepada mereka kembali, apa itu TERBESAR? Dan mereka akan menjawab dengan penuh semangat.... Terbaik, Bersih, Sopan Santun, dan Rajin. Begitu juga dengan kelas lainnya. Hal ini menjadi bagian dari perencanaan pengambilan keputusan saya untuk menjadikan setiap kelas memiliki budaya positif yang meyenangkan.

Contoh Kesepakatan Kelas sebagai salah satu bentuk penerapan Budaya Positif 
yang sudah dibuat setiap kelas

 Ketua Kelas memimpin dan menampilan Kesepakatan Kelas 
sebelum didesain untuk dipajang di kelas

b. Pembelajaran Berdiferensiasi
Aksi nyata berikutnya adalah penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi dalam proses pembelajaran di kelas. Seperti yang sudah dijelaskan dalam latar belakang mengenai kondisi dalam kelas, saya memilih untuk mulai menerapkan Pembelajaran Berdiferensiasi kembali di kelas. Berbekal materi tentang Pembelajaran Berdiferensiasi yang saya peroleh dari pembelajaran di PPGP ini, saya mulai memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Saya mulai mencoba menerapkan diferensiasi produk dalam penugasan siswa siswi. Meskipun belum semua kelas  melakukannya dengan tepat, namun secara umum saya merasa cukup puas dengan keaktifan siswa siswi ketika menerapkannya. Mereka menjadi lebih bersemangat dan aktif berinteraksi dengan teman-temannya.

Silakan klik untuk melihat video ringkas proses pembelajaran di kelas



Saling berkunjung antarkelompok untuk mendengarkan paparan materi 
dan memberikan penilaian sebaya


Setiap kelompok siswa bebas memilih posisi kelompoknya dan salah satu atau 
2 orang anggotanya akan berjaga, menunggu kedatangan anggota kelompok lain. 
Silakan klik untuk melihat video ringkat pembelajaran.


Pada akhir materi pembelajaran, sebelum ulangan, saya mengajak anak-anak untuk melakukan refleksi pembelajaran dengan menemukan nilai-nilai karakter positif yang terdapat dalam materi tersebut dan memberikan contoh penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, saya juga mengajak siswa siswi untuk memberikan penilaian terhadap teman-temannya setelah mendengarkan teman-teman kelompok lain memberikan penjelasan tentang refleksi yang dibuatnya. Mereka memberikan tanda bintang antara 1 sampai 5 untuk menilai kelompok temannya dalam merefleksikan hasil pembelajaran. Menarik sekali.

Penilaian teman sebaya dengan memberikan bintang 1 sampai 5 setelah mendengarkan 
paparan dan kemampuan menjawab pertanyaan setiap anggota kelompok yang dikunjungi
Silakan klik untuk melihat video ringkas pembelajaran.


Pembelajaran Berdiferensiasi merupakan perencanaan dalam pengambilan keputusan pemimpin pembelajaran berikutnya yang saya pilih untuk mengubah mindset mereka bahwa belajar sejarah pun dapat menyenangkan. Kelas adalah taman belajar bagi mereka.

3. Pembelajaran Sosial Emosional
Kondisi pandemi dan perubahan sistem pembelajaran juga berdampak terhadap kondisi perekonomian keluarga dan siswa siswi itu sendiri. Banyak siswa yang menghilang, tidak mengikuti pembelajaran dan sulit beradaptasi dengan sistem PJJ. Guru dan wali kelas bekerja keras untuk mengembalikan siswa siswi kepada kondisi terbaik dalam mengikuti pembelajaran. Salah satunya dengan penerapan Pembelajaran Sosial Emosional ini. Saya sebagai guru harus tetap tenang dan sabar dalam menghadapi kondisi siswa tersebut. Di sisi lain, saya juga harus mampu membangkitkan kembali semangat belajar siswa.

PSE dilakuan untuk menjalin kedekatan emosional siswa dan guru. 
Dapat melalui teknik STOP, Ice Breaking, ataupun komunikasi yang hangat. Silakan klik link https://youtu.be/Z0P57IlNf_s untuk melihat video lengkap penerapan PSE dalam proses pembelajaran di kelas.

Penerapan Pembelajaran Sosial Emosional sebenarnya merupakan hal yang penting pada masa pandemi ini. Bukan hanya siswa, orangtua pun perlu dorongan semangat untuk mendampingi putra putrinya belajar di rumah. Tidak jarang saya mendapat curhatan dari orangtua terkait kesulitan mereka mendampingi putra putrinya belajar. Nah, hal inilah yang mendorong saya untuk membuatkan piagam sederhana kepada orangtua siswa siswi perwalian saya yang telah bekerja keras, sabar mendampingi mereka hingga lulus. Respon positif dari orangtua. Mereka bahkan menunjukkan kebanggan dengan menjadikan piagam ini dalam status wa mereka. Saya pun merasa bahagia dengan antusias tersebut.



Menjalin kedekatan emosional dengan orangtua melalui apresiasi terhadap 
pembimbingan orangtua kepada putra putrinya selama pembelajaran di rumah.


Penerapan Pembelajaran Sosial Emosial bagi siswa dan orangtua adalah pengambilan keputusan yang saya pilih untuk membangun kedekatan dan kepercayaan emosional dengan siswa siswi dan orangtua sehingga saya dapat berkolaborasi dalam meningkatkan pendidikan putra putrinya. 


4. Couching

Couching merupakan salah satu keterampilan bagi seorang guru yang diperlukan ketika menghadapi anak yang bermasalah. Namun demikian, couching juga dapat kita praktikkan kepada rekan guru dan orangtua. Tujuan dari couching adalah untuk menggali potensi couchee agar mampu menemukan solusi dari permasalahannya sendiri. Seorang guru yang bertindak sebagai couching tidak boleh memberikan solusi. Saya mencoba mempraktikan couching dengan model TIRTA ini kepada siswa dan rekan guru. Meskipun belum terbiasa dan masih sedikit bingung dalam membuat pertanyaan, namun secara umum couching sudah dapat dilakukan. Ketika pendampingan individu 4 oleh Pengajar Praktik Ibu Suci Mustika Hati dan saya mempraktikannya langsung, beliau pun mengatakan sudah baik. Bahkan beliau memuji ketika saya melakukan kontak mata dengan couchee pada saat dialog karena jarang juga yang mampu melakukan kontak mata ketika sedang melakukan couching.

Silakan klik link https://youtu.be/XxK_s9qdEDU untuk melihat 
video lengkap couching siswa


Silakan klik untuk melihat video ringkas couching rekan kerja


Dalam setiap aksi nyata yang saya rencanakan dan terapkan, tidak lupa selalu melakukan diskusi dengan Waka Kurikulum, Ibu Heni Yulia Sari. Beliau adalah sosok pemimpin yang luar biasa. Selalu memberikan masukan positif dan semangat terhadap kegiatan saya, namun beliau juga tak segan untuk ikut belajar bersama saya. Kami berdiskusi banyak tentang model Pembelajaran Berdiferensiasi dan Pembelajaran Sosial Emosional yang akan diterapkan dalam Implementasi Kurikulum Merdeka nanti.


PERASAAN (FEELINGS)
Setiap kali modul sudah sampai pada kegiatan akhir dan berhadapan dengan aksi nyata, ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Aksi nyata merupakan point penting bagi seorang Calon Guru Penggerak. Setelah CGP belajar teori melalui LMS maka kita harus mempraktikkannya sehingga materi yang diperoleh betul-betul dirasakan manfaatnya. Namun, melakukan aksi nyata tidaklah mudah. Saya membutuhkan dukungan dari lingkungan saya, baik rekan guru, siswa, orangtua, dan kepala sekolah. Saya juga harus betul-betul merencanakan aksi nyata agar tepat waktu dan sesuai target yang ingin dicapai. Inilah yang membuat saya merasa khawatir jika tidak sesuai perencanaan aksi nyata. Namun, ketika aksi nyata telah dilakukan dan berhasil maka saya merasa senang dan puas karena perencanaan saya berhasil.

Saya juga merasa senang dengan dukungan teman-teman, baik di sekolah maupun komunitas lain di luar sekolah. Kami menjadi sama-sama belajar hal baru yang positif untuk bisa kami terapkan. Saya merasa nyaman dan lebih percaya diri dengan dukungan tersebut.
 

PEMBELAJARAN (FINDINGS)
Saya mendapat banyak pembelajaran dari materi-materi yang sudah diberikan dalam LMS dan aksi nyata yang saya lakukan, mulai dari praktik Budaya Positif, Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Couching. Sebagian materi-materi tersebut sudah saya lakukan hanya saja saya belum mengerti bahwa itu adalah bagian dari keempat materi tersebut. Saya belajar untuk kreatif dalam pembelajaran di kelas. Saya belajar mengatur emosi diri saya sendiri agar dapat menjalankan pekerjaan sebagai guru dengan baik dan profesional. Saya belajar untuk membiasakan budaya positif bukan hanya untuk siswa tapi juga untuk diri saya sendiri. Dan saya juga belajar membantu menggali potensi anak untuk menyelesaikan masalahnya secara mandiri, Saya belajar untuk memperbaiki pembelajaran yang saya lakukan di kelas dengan menggunakan beragam materi tersebut. Ini menarik, karena terkadang tidak semua berhasil dilakukan namun saya berusaha untuk melakukan refleksi dan memperbaikinya.

Hal lain yang tidak kalah penting saya pelajari adalah komunikasi dan kolaborasi yang baik. Saya yang sebelumnya tidak percaya diri dan sulit berkomunikasi, perlahan mulai belajar berkomunikasi yang baik dan menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak. Meskipun belum terbiasa sepenuhnya, namun saya bersyukur karena menemukan banyak contoh yang bisa saya jadikan pembelajaran.

 
PENERAPAN (FUTURE)
Dari pembelajaran yang saya peroleh dalam penerapan aksi nyata, saya berusaha untuk melakukan perbaikan perencanaan. Bagi aksi nyata yang sudah baik maka saya akan berusaha untuk memikirkan bagaimana aksi tersebut dapat dilakukan dengan baik, menjaga agar semua berjalan lancar. Hal tersebut tentu dapat dilakukan dengan menjalin komunikasi, kolaborasi secara konsisten, komitmen, dan kontinu di masa mendatang sehingga semuanya akan menjadi terbiasa.

Siswa siswi terbaik akan muncul ketika guru mampu menggali potensi mereka 
dengan melakukan pengambilan keputusan yang tepat sebagai pemimpin pembelajaran


Demikianlah beberapa aksi nyata yang sudah saya lakukan dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran. Guru adalah kunci utama kesuksesan pendidikan negeri ini sehingga menjadi guru adalah suatu anugerah untuk dapat berperan mencerdaskan anak bangsa. Seorang guru harus mampu melakukan pengambilan keputusan yang tepat sebagai pemimpin dalam proses pembelajaran yang dilakukannya, baik di kelas maupun di luar kelas.

Semangat bergerak, tergerak, dan menggerakkan...

SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku), Aksi Nyata Meningkatkan Budaya Literasi Siswa dengan Merdeka Belajar

 Salam Guru Penggerak! Tak terasa modul 3.3 dari Program Pendidikan Guru Penggerak sudah hampir selesai dipelajari. Tersisa dua penugasan la...