Beberapa hari lalu, saya mendapat materi tentang Kecerdasan ESQ setelah sebelumnya kita belajar tentang Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional. Menarik sekali. Perjalanan perubahan sudut pandang yang semula berpandangan bahwa Kecerdasan Intelektual merupakan kunci utama keberhasilan mengalami pergeseran. Masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang, seperti Kecerdasan Emosional.
Sabtu, 06 Juni 2020
Selasa, 19 Mei 2020
Sekolah Petarung Versus Sekolah Ramah Anak
Judulnya sudah dibuat lama tapi belum sempat dilanjutkan. Katanya ga boleh membuat keputusan ketika sedang emosi. Soo, ditinggalkan selama berbulan-bulan untuk meredam emosi dulu. Alhasil baru sekarang dibuka dan mulai lanjut menulis.
Ini dua citra sekolah yang muncul dalam masyarakat kita. Hanya saja yang satu terbangun dari pandangan masyarakat terhadap sekolah tersebut. Dan pandangan itu tentu saja tidak muncul tiba-tiba. Darimana berasal? Jawabannya ya dari sekolah itu sendiri, perilaku siswa siswi sekolah dalam masyarakat telah memberikan pandangan tertentu, maka muncullah sekolah petarung. Seperti apa? Nanti kita bahas lebih lanjut, sekarang kita tengok dulu citra sekolah lainnya yaitu sekolah ramah anak.
Sekolah ramah anak merupakan suatu program pemerintah untuk memberikan kenyamanan kepada siswa siswi belajar di sekolah. Dengan harapan, kenyamanan tersebut dapat mempengaruhi proses belajar mereka untuk lebih berprestasi. Sekolah pun mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua standar yang diperlukan dalam program sekolah ramah anak ini. Mulai dari sarana dan prasarana hingga sumber daya manusianya. Sekolah menjadi rumah kedua bagi siswa siswi.
Akan tetapi, membangun citra sekolah ramah anak ternyata tidaklah mudah. Kita berhadapan dengan sosok remaja yang sedang mencari eksistensi dirinya dalam lingkungan sekitarnya. Sekalipun sekolah telah berusaha dengan memberikan fasilitas nyaman, lengkap, dan sumber daya manusia kompeten, tetapi siswa siswi sebagai point utama yang karakternya telah terbentuk dalam lingkungan keluarga sejak kecil. Sekian jam di sekolah tentu tidak mudah mengubah karakter siswa siswi tersebut. Apalagi jika keluarga tidak mendukung upaya tersebut dalam arti peran keluarga dalam perkembangan diri anak tidak maksimal.
Aspek ekonomi dan pendidikan yang tinggi pun tidak menjadi jaminan akan membentuk karakter seorang anak menjadi baik pula, Dalam beberapa kasus, pelaku tawuran pelajar justru datang dari keluarga yang terihat baik dan ekonomi mapan. Akan tetapi, kejanggalan terjadi ketika seorang anak masih berada di luar sampai pukul 1 malam atau bahkan jam 4 pagi jelang subuh. Buat saya itu adalah salah satu indikator betapa orangtua kurang peduli, memperhatikan anak-anaknya. Bagaimana mungkin mereka dapat membiarkan anak-anak mereka di tengah malam dengan tenang?
Lantas di mana mereka berada? Hampir di setiap lokasi sekolah ada basecamp yang menjadi tempat nongkrong mereka. Bebas berkumpul sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Bahkan ketika masyarakat menolak hingga memasang spanduk ternyata tidak menimbulkan efek jera bagi mereka. Seperti halnya pedagang di pasar yang hilang ketika ada operasi pasar tetapi kemudian muncul setelah isu mereda. Sekolah berupaya keras melarang dan menutup basecamp tersebut, tetapi tanpa kerja sama pihak keluarga, masyarakat, dan sekolah maka hal itu akan sulit. Ada sekolah yang tegas menutup tetapi masyarakat masih menyediakan tempat lainnya dan orangtua pun sibuk hingga lupa mengontrol keberadaan anaknya.
Usia remaja merupakan usia rentan. Mereka membutuhkan perhatian dan bimbingan. Mereka mencari jati diri mereka, eksistensi diri mereka. Jika mereka tidak menemukannya di rumah maka mereka akan mencari di luar, di sekolah atau masyarakat. Inilah yang menyebabkan terkadang kita menemukan bagaimana seorang anak bisa berbeda sikap, perilakunya ketika di rumah dengan di sekolah. Begitu pula ketika berkumpul dengan temannya.
Salah satu cara menunjukkan eksistensi diri di usia remaja adalah dengan menunjukkan kehebatan mereka hingga lingkungan sekitarnya mengakui. Ini memberikan kepercayaan diri kepada mereka. Jika di rumah tidak diakui, di sekolah pun mereka tergeser oleh siswa siswi teladan, maka satu-satunya jalan adalah di masyarakat. Cara instan yang banyak mereka ambil adalah dengan tawuran, baik satu lawan satu ataupun berkelompok. Maka mulailah lahir generasi petarung yang berlaku turun temurun. Alumni menurunkan kepada adik-adik kelasnya, membentuk citra mereka sendiri.
Citra sekolah petarung kini semakin kuat, tidak lagi memandang apakah sekolah favorit ataupun bukan. Pengaruh gaya hidup yang luar biasa di era milenial ini ternyata berpengaruh pula pada kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat, termasuk remaja. Mereka yang tidak terangkul oleh keluarga dan sekolah menjadikan kelompok mereka sebagai keluarga. Eksistensi diri mereka diakui dalam keluarga barunya dan semakin mendorong kepercayaan diri. Keberanian muncul dan terus menguasai. Maka yang terjadi adalah munculnya petarung-petarung muda yang beraksi tanpa memikirkan masa depan mereka lagi.
Miris? Sangat..... Jika dulu tawuran hanyalah sekadar perkelahian biasa, kini tawuran sampai memakan nyawa sesama pelajar dan tidak jarang menimpa mereka yang tidak tahu menahu, hanya kebetulan berada di lokasi. Sekolah mendapat pekerjaan rumah yang lebih berat lagi untuk memutus rantai petarung-petarung remaja tersebut. Sementara keluarga pun seharusnya bergerak cepat menarik putra putri mereka sebelum makin jauh masuk dalam pergaulan tersebut.
Selama ini saya hanya mendengar dan membaca berita seputar tawuran pelajar yang memakan korban nyawa. Gemes, tentu saja. Akan tetapi ketika berhadapan langsung, bukan hanya perih yang dirasakan, tetapi gemuruh emosi dan sesal mengapa pendidikan di Indonesia menjadi seperti ini? Malu sebagai guru yang ternyata belum mampu mencetak generasi muda berkualitas.
Suatu hari, keponakan yang sudah saya anggap sebagai anak sendiri mengalami peristiwa tersebut. Malam naas yang tidak terlalu malam dan terjadi di tempat terbuka. Dia yang baru pulang latihan bulutangkis mampir ke rumah temannya untuk shalat Maghrib. Selanjutnya pulanglah dan di jalan mulailah kelompok remaja petarung meneriakinya. Karena tidak digubris maka dikejarlah. Jalan yang dilalui adalah jalan besar yang cukup ramai. Rumahnya hanya tersisa sekian kilometer lagi. Akan tetapi, yang terjadi mereka menendang motor hingga jatuh, rusak parah, dan hilang entah kemana, serta membawa kponakan di dekat pinggir jalan besar itu. Beramai-ramai, digilir hingga pecah tulang kepala, tangan, dan luka di sekujur tubuh. Tidak ada yang berani menolong, mengira sudah meninggal. Sebelum kemudian dibawa ke rumah sakit terdekat. Sekolah dihubungi dan menemuinya di rumah sakit. Ibunya dihubungi dan dikatakan anaknya mengalami kecelakaan. Ayahnya adalah kakak saya sudah meninggal dan ibunya seorang diri tidak bekerja, sesekali berjualan. Kami sekeluarga bahu membahu membantunya. Berharap dia akan menjadi anak laki-laki yang menjadi kebanggaan keluarga.
Ketika malam itu saya dikabari dan dikirim foto-foto kejadian itu, saya sudah membantah ini bukan kecelakaan tapi dipukuli. Hanya orang bodoh yang percaya itu adalah kecelakaan. Dan ketika besoknya saya mendatangi sekolahnya untuk mengkonfirmasi semua kejadian dan proses ke depan karena sekarang sudah kelas 12 yang akan mengikuti ujian. Air mata saya tidak dapat tertahan lagi. Terlebih ketika menyaksikannya terbaring di ruang HCU tanpa sadar.
Perlu operasi otak yang biayanya puluhan juta, mengangkat tulang kepala yang pecah. Kemudian operasi tangan yang patah remuk. Matanya belum dapat melihat. Hati seorang ibu mana yang tidak menangis melihat anak yang dibesarkan dengan penuh perjuangan terbujur kaku remuk redam. Kami bahu membahu agar operasi bisa segera dilaksanakan. Semua diurus dengan penuh perjuangan. Entah berapa lama di rumah sakit sampai akhirnya bisa dipulangkan untuk berobat jalan hingga saat ini.
Luka fisik mungkin dapat dihapus perlahan, tetapi luka psikis akan terus membayangi. Dan itu adalah pekerjaan bagi kami, saya untuk terus membangkitkan kembali semangat hidupnya. Ketika dia bertanya kenapa harus dia yang menerima semua ini padahal dia bukanlah anak nakal..... Dan beribu curhatan lainya di malam hari. Setiap jawaban selalu disertai bulir air yang menetes. Allah tidak akan membebani hamba-Nya diluar batas kemampuannya. Setiap ujian kenaikan level akan semakin berat.
Bagaimana dengan pelaku? Bebas bersekolah sampai akhirnya lulus. Tak ada sanksi apapun karena sekolah menyangkal perbuatan itu oleh mereka. Tidak cukup bukti? Hati nurani tidak akan pernah cukup.
Cukuplah sudah sekolah melahirkan petarung-petarung yang berkeliaran setiap malam mencari korban. Tidak mudah menjadi pimpinan, tetapi kebijakan aturan yang tegas tentu sangat diperlukan. Begitu pula dengan kerja sama orangtua. Jadilah orangtua yang memang benar-benar peduli terhadap anaknya. Mampu mengenali anaknya di dalam maupun di luar rumah. Jangan lepaskan mereka begitu saja pada sekolah, ini tetap menjadi tanggung jawab kita bersama. Dan jadilah guru yang tidak membedakan setiap muridnya, yang terbaik ataupun yang terburuk, mereka semua membutuhkan perhatian dan pengakuan dari lingkungan sekitarnya.
Masalah pendidikan bukanlah tanggung jawab satu atau dua pihak saja. Akan tetapi, adalah tanggung jawab bersama, baik pemerintah, sekolah, orangtua, dan masyarakat. Siswa siswi adalah generasi muda yang menjadi wajah masa depan bangsa ini. Jangan lahirkan remaja petarung, tapi cetaklah remaja berkualitas dan kompeten dalam menghadapi tantangan jaman.
Finlandia yang menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia mengedepankan pendidikan karakter bagi siswa siswinya, bahkkan masyarakat Finlandia sangat tertib dan tidak mau melanggar aturan karena tidak mau memberi contoh buruk kepada generasi muda. Mereka khawatir akan ditiru dan merusak karakter yang telah terbentuk ini. Jepang mengajarkan pendidikan karakter selama tahun-tahun awal pendidikan dasarnya terlebih dahulu. Inikah pentingnya pendidikan karakter bagi kita dan sebuah karakter tidak bisa dibentuk secara instan. Sejak kecil, dimulai dari lingkungan keluarga harus sudah diajarkan karakter yang baik sehingga menjadi fondasi ketika mereka masuk dalam lingkungan masyarakat. Sekolah membantu pembentukan karakter tersebut, mengubahnya menjadi lebih baik, tetapi tetap kunci utama da pada keluarga dan agama sebagai dasar iman kita.
Bangsa Indonesia merdeka karena kualitas pemuda pemudinya yang sadar dengan pentingnya pendidikan. Sekarang? Pendidikan Indonesia menjadi yang terendah di Asia, kualitas guru Indonesia menjadi yang terendah di Asia, dan kemampuan siswa siswi kita pun masih dibawah Malaysia, bahkan Vietnam. Apakah kita akan membiarkannya? Jawablah dengan hati nurani Anda.
Selasa, 11 Februari 2020
Ketika Rindu Berlabuh Pada-Mu
Aku pernah menulis surat
Tentang cinta dan rindu yang menggebu
Pada waktu yang begitu cepat berlalu
Meninggalkan aku sendiri dalam senja
Dan aku mengiba dalam diam
Berharap waktu akan kembali
Bersama rasa yang pernah ada
Tapi waktu Tak pernah mau menengok kembali
Dan akhirnya aku kembali pada pojok ruang ini
Berteman sunyi dan dingin
Bicara hati pada-Mu yang selalu setia
Menjaga dan melindungi jiwa rapuhku
Aku terperosok.... terperangkap dalam hampa.... bisikku perlahan
Apakah aku masih dapat membuka kembali mata ini?
Tanyaku perlahan....
Tak ada jawab yang terdengar
Aku meredam tangis meski basah pada pipi
Aku merengek manja pada Engkau yang terdiam
Aku menutup wajah meski tak mampu menutup dosa
Hanyalah hamba pendosa yang sedang terisak
Berharap belas kasih-Mu entah untuk kesekian kali
Aku yang tak lelah melanggar perintah-Mu
Kini aku terisak....
Yaa aku lelah....
Sekarang....
Ketika aku telah melewati puncak kebahagian
Dan menelusuri keterpurukan luka
Pada akhirnya....
Aku kembali pada-Mu
Pada cinta tulus yang selalu ada untuk-Mu
Yang tak pernah terucap namun kurasakan
Satu.... satu.... dan satunya
Aku belajar
Tentang rasa dan rindu makhluk-Mu
Tentang suka dan duka makhluk-Mu
Namun kini aku ingin pulang
Berlabuh kembali dalam pelukan-Mu
Rabu, 29 Januari 2020
Filsafat Ilmu, Ilmu, Kebudayaan, dan Peradaban Manusia, Dimana Etika Keilmuan Berada?
Setiap kali bicara filsafat, selalu ada hal menarik bagi saya yang masih awam. Kadang memandang mereka yang bicara fasih tentang filsafat berasa keren. Biarpun terkadang juga penggunaan istilah-istilah dalam filsafat itu menjadi pertanyaan tersendiri. Jika epistemologi adalah cara memperoleh ilmu yang benar kenapa harus dimunculkan istilah itu? Jika aksiologi adalah manfaat, guna sebuah ilmu mengapa tidak dipakai saja seperti itu bahasanya? Karena sesungguhnya setiap kali mendengar tiga serangkai ontologi, epistemologi, dan aksiologi itu membuat kepala langsung pening 🤣
Akan tetapi, mungkin semakin tinggi tingkat pendidikan maka pilihan kosa kata pun semakin beragam. Jadi, terima penggunaan istilah-istilah menakutkan itu dalam percakapan di kemudian hari 🤣
Kenapa jadi bicara tiga serangkai dalam filsafat itu? Latar belakangnya adalah ketika menyaksikan presentasi teman-teman dalam mata kuliah filsafat ilmu yang sarat dengan perang ayat suci dan istilah kelas dewa. Tinggallah saya di pojok pening memikirkan makalah yang rasanya tidak menyinggung filsafat itu. Hanya saja saya meyakini apa yang saya buat tidak sepenuhnya salah, tetapi lebih pada praktek keseharian dengan bahasa sehari-hari pula. Tidak ada membahas tentang filsafat bukan berarti tidak berhubungan dengan filsafat bukan? Saya coba menghibur diri.
Dari presentasi teman-teman, saya hanya menyimpulkan filsafat ilmu sebagai infanteri dari semua ilmu yang ada. Atau dengan kata lain, setiap orang pastilah akan menggunakan filsafat ilmu untuk menambah ilmu pengetahuannya. Filsafat Ilmu menambah kemampuan manusia untuk berpikir kritis, inquiry, terhadap segala hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Bahkan bagi seorang ilmuwan terpandai sekalipun, filsafat ilmu tetap diperlukan.
Persoalan bagi sebagian orang yang menolak berfilsafat karena dipandang akan menggeser keyakinan manusia bagi saya adalah bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap keyakinan sendiri. Payung filsafat menempatkan wahyu sebagai penutupnya, menaungi segala dibawahnya. Jika demikian, seharusnya tidak lagi jadi pertanyaan apakah harus memulai dari ragu atau yakin dulu karena jawabannya sudah pasti wahyu, agama, yakinlah dulu terhadap agamamu bahwa semua ada jawabannya oleh agama.
Fondasi agama yang lemah seakan menggoyangkan pertanyaan yang muncul. Keraguan pun muncul. Maka mulailah keraguan menghapus keyakinan. Inilah yang menurut saya menjadi inti permasalahannya. Jangan lagi bertanya memulai dari mana, yakin atau ragu tapi yakinlah terhadap agamamu sebagai wahyu dari Illah yang akan menjawab semua persoalan hidup.
Sebagai pengalaman, ketika seorang anak mulai membuka peradaban Cina dengan filsuf-filsufnya yang terkenal. Tentu saja kekaguman membuat ketertarikan lebih terhadap ajaran filsuf, bukan lagi sekadar budayanya. Pertanyaan-pertanyaan seputar filsuf pun muncul. Kemanakah mencari jawabannya?
Tidak semua anak mampu mencari cara yang baik untuk mendapatkan jawabannya. Mereka mencari sendiri jawabannya dan sayangnya terkadang cara yang ditempuh salah. Muncullah keyakinan tentang panca indera. Jika Allah tidak tersentuh oleh panca indera, maka dimanakah Allah sebenarnya berada? Atau apakah benar Allah itu ada? Maka keraguan pun menghapus keyakinan dirinya.
Kasus lain bukan kepercayaan terhadap panca indera, tetapi keyakinan terhadap ilmu pengetahuan. Di Barat kita mengenal Saintologi sebagai salah satu aliran yang mengagungkan ilmu pengetahuan. Tidak ada yang bisa terjawab oleh ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ketika ilmu pengetahuan tidak mampu menjawab keberadaan Allah yang tidak dilahirkan dan melahirkan maka ciptakanlah Allah itu tidak ada. Debat seputar ilmu pengetahuan pun muncul.
Dunia Barat bukan sekali dua kali mengeluarkan pemikiran yang menentang ajaran agama, bahkan Tuhan sekalipun. Masih ingatkah missing link dalam evolusi manusia? Hingga saat ini, tidak ada yang bisa menjelaskan missing link tersebut. Padahal, jika saya boleh berpendapat maka missing link hanyalah alasan bangsa Barat karena tidak mampu ataukah tidak mengakui keberadaan manusia praaksara dengan Nabi Adam as. Setelah mematahkan teori evolusi Darwin dengan menyebut Darwin sebagai ilmuwan gila, kini missing link menjadi alasan lainnya.
Di kelas, pelajaran utama dalam sejarah ketika sampai pada materi manusia praaksara adalah meminta mereka untuk membuka kitab suci masing-masing untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri yang pernah saya tanyakan juga ketika saya sekolah dulu.
Manakah yang lebih dulu, manusia praaksara atau Nabi Adam as? Apakah bumi itu bulat atau datar? Benarkah bumi diciptakan dalam beberapa tahapan? Hasilnya? Luar biasa.
Mereka mampu menemukan ayat-ayat dalam Alquran dan Alkitab yang menjelaskan keberadaan manusia praaksara dan Nabi Adam as, bentuk bumi yang bulat, dan proses terbentuknya bumi itu sendiri. Maka ini menjadi bukti bahwa agama adalah kunci jawaban dari semua permasalahan.
Masih ingat tentang keberadaan manusia Cro Magnon yang dianggap sebagai nenek moyang bangsa Eropa ternyata hanyalah kumpulan tulang dari beberapa rangka. Manipulasi ilmu pengetahuan melanggar etika keilmuan. Pertanyaannya, sebegitu jauhkah mereka memanipulasi ilmu pengetahuan untuk menunjukkan eksistensi mereka dengan keberadaan nenek moyangnya. Ketika semua daerah menemukan rangka nenek moyangnya, mereka pun memaksakan bahwa nenek moyang mereka pun ada.
Dalam hal ini, Indonesia patut berbangga. Bukan hanya kaya sumber daya alam saja, Indonesia juga kaya akan sumber daya ilmu pengetahuannya. Terbukti lebih dari 100 fosil pithecantropus ditemukan. Belum lagi megantropus, homo sapiens, hingga floriensis yang menjadi rebutan dua negara. Luar biasa bukan?
Sayangnya kekayaan sebagai sumber ilmu pengetahuan itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Ketika negara-negara lain sudah mencapai tahapan revolusi industri 4.0 dan Society 5.0, Indonesia masih bergerak mencapai tahapan itu. Teknologi digital yang dihasilkan baru sebatas pemanfaatan informasi searah, bukan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Apakah akan muncul peradaban baru kembali? Kita tidak dapat menjawab pertanyaan itu sekarang. Peradaban adalah pandangan orang terhadap kebudayaan kita di kemudian hari. Mereka yang menilai dengan membandingkannya dari kebudayaan daerah lain.
Bagaimanapun juga, hubungan antara ilmu, pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban merupakan hubungan yang terus menyambung dan saling mempengaruhi. Satu hal yang harus kita ingat selalu adalah dalam praktik ilmu, pengetahuan itu kita mengenal adanya etika keilmuan. Seorang ilmuwan wajib memiliki etika keilmuan agar bagaimana dia memperoleh ilmunya dan memanfaatkannya haruslah sesuai dengan etika kemanusiaan yang ada. Ilmu dan pengetahuan haruslah membangun kebudayaan dan peradaban baru apabila disertai dengan etika keilmuan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, tanpa etika keilmuan maka kehancuranlah yang aja diperoleh.
Kamu pilih yang mana? Seorang berilmu yang berpegang teguh pada etika keilmuannya dengan segala idealismenya? Ataukah seorang berilmu yang pragmatis saja dalam menggunakan ilmunya, etika keilmuan tabrak saja selama bisa mengembangkan ilmunya 🤔
Akan tetapi, mungkin semakin tinggi tingkat pendidikan maka pilihan kosa kata pun semakin beragam. Jadi, terima penggunaan istilah-istilah menakutkan itu dalam percakapan di kemudian hari 🤣
Kenapa jadi bicara tiga serangkai dalam filsafat itu? Latar belakangnya adalah ketika menyaksikan presentasi teman-teman dalam mata kuliah filsafat ilmu yang sarat dengan perang ayat suci dan istilah kelas dewa. Tinggallah saya di pojok pening memikirkan makalah yang rasanya tidak menyinggung filsafat itu. Hanya saja saya meyakini apa yang saya buat tidak sepenuhnya salah, tetapi lebih pada praktek keseharian dengan bahasa sehari-hari pula. Tidak ada membahas tentang filsafat bukan berarti tidak berhubungan dengan filsafat bukan? Saya coba menghibur diri.
Dari presentasi teman-teman, saya hanya menyimpulkan filsafat ilmu sebagai infanteri dari semua ilmu yang ada. Atau dengan kata lain, setiap orang pastilah akan menggunakan filsafat ilmu untuk menambah ilmu pengetahuannya. Filsafat Ilmu menambah kemampuan manusia untuk berpikir kritis, inquiry, terhadap segala hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Bahkan bagi seorang ilmuwan terpandai sekalipun, filsafat ilmu tetap diperlukan.
Persoalan bagi sebagian orang yang menolak berfilsafat karena dipandang akan menggeser keyakinan manusia bagi saya adalah bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap keyakinan sendiri. Payung filsafat menempatkan wahyu sebagai penutupnya, menaungi segala dibawahnya. Jika demikian, seharusnya tidak lagi jadi pertanyaan apakah harus memulai dari ragu atau yakin dulu karena jawabannya sudah pasti wahyu, agama, yakinlah dulu terhadap agamamu bahwa semua ada jawabannya oleh agama.
Fondasi agama yang lemah seakan menggoyangkan pertanyaan yang muncul. Keraguan pun muncul. Maka mulailah keraguan menghapus keyakinan. Inilah yang menurut saya menjadi inti permasalahannya. Jangan lagi bertanya memulai dari mana, yakin atau ragu tapi yakinlah terhadap agamamu sebagai wahyu dari Illah yang akan menjawab semua persoalan hidup.
Sebagai pengalaman, ketika seorang anak mulai membuka peradaban Cina dengan filsuf-filsufnya yang terkenal. Tentu saja kekaguman membuat ketertarikan lebih terhadap ajaran filsuf, bukan lagi sekadar budayanya. Pertanyaan-pertanyaan seputar filsuf pun muncul. Kemanakah mencari jawabannya?
Tidak semua anak mampu mencari cara yang baik untuk mendapatkan jawabannya. Mereka mencari sendiri jawabannya dan sayangnya terkadang cara yang ditempuh salah. Muncullah keyakinan tentang panca indera. Jika Allah tidak tersentuh oleh panca indera, maka dimanakah Allah sebenarnya berada? Atau apakah benar Allah itu ada? Maka keraguan pun menghapus keyakinan dirinya.
Kasus lain bukan kepercayaan terhadap panca indera, tetapi keyakinan terhadap ilmu pengetahuan. Di Barat kita mengenal Saintologi sebagai salah satu aliran yang mengagungkan ilmu pengetahuan. Tidak ada yang bisa terjawab oleh ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ketika ilmu pengetahuan tidak mampu menjawab keberadaan Allah yang tidak dilahirkan dan melahirkan maka ciptakanlah Allah itu tidak ada. Debat seputar ilmu pengetahuan pun muncul.
Dunia Barat bukan sekali dua kali mengeluarkan pemikiran yang menentang ajaran agama, bahkan Tuhan sekalipun. Masih ingatkah missing link dalam evolusi manusia? Hingga saat ini, tidak ada yang bisa menjelaskan missing link tersebut. Padahal, jika saya boleh berpendapat maka missing link hanyalah alasan bangsa Barat karena tidak mampu ataukah tidak mengakui keberadaan manusia praaksara dengan Nabi Adam as. Setelah mematahkan teori evolusi Darwin dengan menyebut Darwin sebagai ilmuwan gila, kini missing link menjadi alasan lainnya.
Di kelas, pelajaran utama dalam sejarah ketika sampai pada materi manusia praaksara adalah meminta mereka untuk membuka kitab suci masing-masing untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri yang pernah saya tanyakan juga ketika saya sekolah dulu.
Manakah yang lebih dulu, manusia praaksara atau Nabi Adam as? Apakah bumi itu bulat atau datar? Benarkah bumi diciptakan dalam beberapa tahapan? Hasilnya? Luar biasa.
Mereka mampu menemukan ayat-ayat dalam Alquran dan Alkitab yang menjelaskan keberadaan manusia praaksara dan Nabi Adam as, bentuk bumi yang bulat, dan proses terbentuknya bumi itu sendiri. Maka ini menjadi bukti bahwa agama adalah kunci jawaban dari semua permasalahan.
Masih ingat tentang keberadaan manusia Cro Magnon yang dianggap sebagai nenek moyang bangsa Eropa ternyata hanyalah kumpulan tulang dari beberapa rangka. Manipulasi ilmu pengetahuan melanggar etika keilmuan. Pertanyaannya, sebegitu jauhkah mereka memanipulasi ilmu pengetahuan untuk menunjukkan eksistensi mereka dengan keberadaan nenek moyangnya. Ketika semua daerah menemukan rangka nenek moyangnya, mereka pun memaksakan bahwa nenek moyang mereka pun ada.
Dalam hal ini, Indonesia patut berbangga. Bukan hanya kaya sumber daya alam saja, Indonesia juga kaya akan sumber daya ilmu pengetahuannya. Terbukti lebih dari 100 fosil pithecantropus ditemukan. Belum lagi megantropus, homo sapiens, hingga floriensis yang menjadi rebutan dua negara. Luar biasa bukan?
Sayangnya kekayaan sebagai sumber ilmu pengetahuan itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Ketika negara-negara lain sudah mencapai tahapan revolusi industri 4.0 dan Society 5.0, Indonesia masih bergerak mencapai tahapan itu. Teknologi digital yang dihasilkan baru sebatas pemanfaatan informasi searah, bukan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Apakah akan muncul peradaban baru kembali? Kita tidak dapat menjawab pertanyaan itu sekarang. Peradaban adalah pandangan orang terhadap kebudayaan kita di kemudian hari. Mereka yang menilai dengan membandingkannya dari kebudayaan daerah lain.
Bagaimanapun juga, hubungan antara ilmu, pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban merupakan hubungan yang terus menyambung dan saling mempengaruhi. Satu hal yang harus kita ingat selalu adalah dalam praktik ilmu, pengetahuan itu kita mengenal adanya etika keilmuan. Seorang ilmuwan wajib memiliki etika keilmuan agar bagaimana dia memperoleh ilmunya dan memanfaatkannya haruslah sesuai dengan etika kemanusiaan yang ada. Ilmu dan pengetahuan haruslah membangun kebudayaan dan peradaban baru apabila disertai dengan etika keilmuan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, tanpa etika keilmuan maka kehancuranlah yang aja diperoleh.
Kamu pilih yang mana? Seorang berilmu yang berpegang teguh pada etika keilmuannya dengan segala idealismenya? Ataukah seorang berilmu yang pragmatis saja dalam menggunakan ilmunya, etika keilmuan tabrak saja selama bisa mengembangkan ilmunya 🤔
Langganan:
Komentar (Atom)
SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku), Aksi Nyata Meningkatkan Budaya Literasi Siswa dengan Merdeka Belajar
Salam Guru Penggerak! Tak terasa modul 3.3 dari Program Pendidikan Guru Penggerak sudah hampir selesai dipelajari. Tersisa dua penugasan la...
-
Industri perfilman Indonesia menjadi ramai ketika film Joker berhasil tayang tanpa gunting sensor sedetik pun oleh Lembaga Sensor Indonesia...
-
Tidak terasa, perjalanan Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4 sudah memasuk modul akhir, yaitu modul 3 dan saat ini kami baru saja m...
-
Salam Guru Penggerak! Hampir separuh perjalanan Program Pendidikan Guru Penggerak telah dilalui oleh setiap Calon Guru Penggerak Angkatan 4,...


