Setiap kali bicara filsafat, selalu ada hal menarik bagi saya yang masih awam. Kadang memandang mereka yang bicara fasih tentang filsafat berasa keren. Biarpun terkadang juga penggunaan istilah-istilah dalam filsafat itu menjadi pertanyaan tersendiri. Jika epistemologi adalah cara memperoleh ilmu yang benar kenapa harus dimunculkan istilah itu? Jika aksiologi adalah manfaat, guna sebuah ilmu mengapa tidak dipakai saja seperti itu bahasanya? Karena sesungguhnya setiap kali mendengar tiga serangkai ontologi, epistemologi, dan aksiologi itu membuat kepala langsung pening 🤣
Akan tetapi, mungkin semakin tinggi tingkat pendidikan maka pilihan kosa kata pun semakin beragam. Jadi, terima penggunaan istilah-istilah menakutkan itu dalam percakapan di kemudian hari 🤣
Kenapa jadi bicara tiga serangkai dalam filsafat itu? Latar belakangnya adalah ketika menyaksikan presentasi teman-teman dalam mata kuliah filsafat ilmu yang sarat dengan perang ayat suci dan istilah kelas dewa. Tinggallah saya di pojok pening memikirkan makalah yang rasanya tidak menyinggung filsafat itu. Hanya saja saya meyakini apa yang saya buat tidak sepenuhnya salah, tetapi lebih pada praktek keseharian dengan bahasa sehari-hari pula. Tidak ada membahas tentang filsafat bukan berarti tidak berhubungan dengan filsafat bukan? Saya coba menghibur diri.
Dari presentasi teman-teman, saya hanya menyimpulkan filsafat ilmu sebagai infanteri dari semua ilmu yang ada. Atau dengan kata lain, setiap orang pastilah akan menggunakan filsafat ilmu untuk menambah ilmu pengetahuannya. Filsafat Ilmu menambah kemampuan manusia untuk berpikir kritis, inquiry, terhadap segala hal yang terjadi dalam kehidupan manusia. Bahkan bagi seorang ilmuwan terpandai sekalipun, filsafat ilmu tetap diperlukan.
Persoalan bagi sebagian orang yang menolak berfilsafat karena dipandang akan menggeser keyakinan manusia bagi saya adalah bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap keyakinan sendiri. Payung filsafat menempatkan wahyu sebagai penutupnya, menaungi segala dibawahnya. Jika demikian, seharusnya tidak lagi jadi pertanyaan apakah harus memulai dari ragu atau yakin dulu karena jawabannya sudah pasti wahyu, agama, yakinlah dulu terhadap agamamu bahwa semua ada jawabannya oleh agama.
Fondasi agama yang lemah seakan menggoyangkan pertanyaan yang muncul. Keraguan pun muncul. Maka mulailah keraguan menghapus keyakinan. Inilah yang menurut saya menjadi inti permasalahannya. Jangan lagi bertanya memulai dari mana, yakin atau ragu tapi yakinlah terhadap agamamu sebagai wahyu dari Illah yang akan menjawab semua persoalan hidup.
Sebagai pengalaman, ketika seorang anak mulai membuka peradaban Cina dengan filsuf-filsufnya yang terkenal. Tentu saja kekaguman membuat ketertarikan lebih terhadap ajaran filsuf, bukan lagi sekadar budayanya. Pertanyaan-pertanyaan seputar filsuf pun muncul. Kemanakah mencari jawabannya?
Tidak semua anak mampu mencari cara yang baik untuk mendapatkan jawabannya. Mereka mencari sendiri jawabannya dan sayangnya terkadang cara yang ditempuh salah. Muncullah keyakinan tentang panca indera. Jika Allah tidak tersentuh oleh panca indera, maka dimanakah Allah sebenarnya berada? Atau apakah benar Allah itu ada? Maka keraguan pun menghapus keyakinan dirinya.
Kasus lain bukan kepercayaan terhadap panca indera, tetapi keyakinan terhadap ilmu pengetahuan. Di Barat kita mengenal Saintologi sebagai salah satu aliran yang mengagungkan ilmu pengetahuan. Tidak ada yang bisa terjawab oleh ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ketika ilmu pengetahuan tidak mampu menjawab keberadaan Allah yang tidak dilahirkan dan melahirkan maka ciptakanlah Allah itu tidak ada. Debat seputar ilmu pengetahuan pun muncul.
Dunia Barat bukan sekali dua kali mengeluarkan pemikiran yang menentang ajaran agama, bahkan Tuhan sekalipun. Masih ingatkah missing link dalam evolusi manusia? Hingga saat ini, tidak ada yang bisa menjelaskan missing link tersebut. Padahal, jika saya boleh berpendapat maka missing link hanyalah alasan bangsa Barat karena tidak mampu ataukah tidak mengakui keberadaan manusia praaksara dengan Nabi Adam as. Setelah mematahkan teori evolusi Darwin dengan menyebut Darwin sebagai ilmuwan gila, kini missing link menjadi alasan lainnya.
Di kelas, pelajaran utama dalam sejarah ketika sampai pada materi manusia praaksara adalah meminta mereka untuk membuka kitab suci masing-masing untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri yang pernah saya tanyakan juga ketika saya sekolah dulu.
Manakah yang lebih dulu, manusia praaksara atau Nabi Adam as? Apakah bumi itu bulat atau datar? Benarkah bumi diciptakan dalam beberapa tahapan? Hasilnya? Luar biasa.
Mereka mampu menemukan ayat-ayat dalam Alquran dan Alkitab yang menjelaskan keberadaan manusia praaksara dan Nabi Adam as, bentuk bumi yang bulat, dan proses terbentuknya bumi itu sendiri. Maka ini menjadi bukti bahwa agama adalah kunci jawaban dari semua permasalahan.
Masih ingat tentang keberadaan manusia Cro Magnon yang dianggap sebagai nenek moyang bangsa Eropa ternyata hanyalah kumpulan tulang dari beberapa rangka. Manipulasi ilmu pengetahuan melanggar etika keilmuan. Pertanyaannya, sebegitu jauhkah mereka memanipulasi ilmu pengetahuan untuk menunjukkan eksistensi mereka dengan keberadaan nenek moyangnya. Ketika semua daerah menemukan rangka nenek moyangnya, mereka pun memaksakan bahwa nenek moyang mereka pun ada.
Dalam hal ini, Indonesia patut berbangga. Bukan hanya kaya sumber daya alam saja, Indonesia juga kaya akan sumber daya ilmu pengetahuannya. Terbukti lebih dari 100 fosil pithecantropus ditemukan. Belum lagi megantropus, homo sapiens, hingga floriensis yang menjadi rebutan dua negara. Luar biasa bukan?
Sayangnya kekayaan sebagai sumber ilmu pengetahuan itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Ketika negara-negara lain sudah mencapai tahapan revolusi industri 4.0 dan Society 5.0, Indonesia masih bergerak mencapai tahapan itu. Teknologi digital yang dihasilkan baru sebatas pemanfaatan informasi searah, bukan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Apakah akan muncul peradaban baru kembali? Kita tidak dapat menjawab pertanyaan itu sekarang. Peradaban adalah pandangan orang terhadap kebudayaan kita di kemudian hari. Mereka yang menilai dengan membandingkannya dari kebudayaan daerah lain.
Bagaimanapun juga, hubungan antara ilmu, pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban merupakan hubungan yang terus menyambung dan saling mempengaruhi. Satu hal yang harus kita ingat selalu adalah dalam praktik ilmu, pengetahuan itu kita mengenal adanya etika keilmuan. Seorang ilmuwan wajib memiliki etika keilmuan agar bagaimana dia memperoleh ilmunya dan memanfaatkannya haruslah sesuai dengan etika kemanusiaan yang ada. Ilmu dan pengetahuan haruslah membangun kebudayaan dan peradaban baru apabila disertai dengan etika keilmuan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, tanpa etika keilmuan maka kehancuranlah yang aja diperoleh.
Kamu pilih yang mana? Seorang berilmu yang berpegang teguh pada etika keilmuannya dengan segala idealismenya? Ataukah seorang berilmu yang pragmatis saja dalam menggunakan ilmunya, etika keilmuan tabrak saja selama bisa mengembangkan ilmunya 🤔
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku), Aksi Nyata Meningkatkan Budaya Literasi Siswa dengan Merdeka Belajar
Salam Guru Penggerak! Tak terasa modul 3.3 dari Program Pendidikan Guru Penggerak sudah hampir selesai dipelajari. Tersisa dua penugasan la...
-
Industri perfilman Indonesia menjadi ramai ketika film Joker berhasil tayang tanpa gunting sensor sedetik pun oleh Lembaga Sensor Indonesia...
-
Tidak terasa, perjalanan Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4 sudah memasuk modul akhir, yaitu modul 3 dan saat ini kami baru saja m...
-
Salam Guru Penggerak! Hampir separuh perjalanan Program Pendidikan Guru Penggerak telah dilalui oleh setiap Calon Guru Penggerak Angkatan 4,...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar