Kamis, 03 Maret 2022

ASET NEGARA KOREA SELATAN VERSUS ASET NEGARA INDONESIA.... SIAPA JUARANYA?

Fenomena grup band BTS asal Korea sepertinya sedang mencapai puncak karir. Keberhasilannya menduduki tangga lagu di berbagai platform musik dan meraih beragam penghargaan menjadi salah satu bukti kesuksesannya. Konsernya laris manis bak kacang goreng sekalipun dibandrol dengan harga jutaan rupiah karena memang selalu tampil maksimal di tempat-tempat yang luar biasa. 

Kesuksesan BTS tentu tidak terjadi begitu saja. Army, sebutan untuk fans BTS menyadari perjuangan idol  mereka sejak masih menjadi traine. Tidak semua anggota BTS lahir dari keluarga yang beruntung sehingga mereka harus bekerja lebih keras untuk meraih mimpi menjadi idol. Suga misalnya, masih harus bekerja sebagai kurir pengantar saat menjadi traine dengan bayaran yang tidak terlalu besar, berhemat setiap harinya. V yang lahir dari keluarga petani mungkin saja di awal tidak berniat menjadi idol karena hanya sekadar mengantar temannya namun yang terjadi justru diluar ekspetasi. V bukan saja menjadi penyanyi terbaik, bahkan terpilih sebagai pria paling tampan sedunia menurut beberapa lembaga survey. Berbeda dengan Jin yang lahir dari keluarga kaya, sebenarnya tanpa perlu bersusah payah, masa depannya cukup cerah menjadi pewaris orangtuanya. Namun, keberagaman itu berjalan harmonis saling melengkapi ketika mereka bergabung dalam BTS.

Kesuksesan mereka membawa pengaruh besar dalam perekonomian negara Korea Selatan karena menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar bagi negara. Tak ragu Presiden Korea Selatan menjadikan mereka sebagai utusan Korea Selatan ke PBB. BTS pun diganjar julukan sebagai salah satu aset penting bagi negara Korea Selatan. Menarik sekali bukan? Lantas apa yang membuat BTS begitu digilai di seluruh penjuru dunia?

Musik BTS dapat diterima di setiap benua, mulai Asia hingga Eropa. Namun, bukan hanya musiknya yang mengalun manis sopan masuk dalam telinga kita. Ada catatan tersendiri dalam setiap lirik yang ditulis BTS dengan bahasa yang santun. Para orangtua di Amerika mengakui alasan mereka menyukai BTS adalah lirik lagu yang terdengar sopan. Berbeda dengan lirik lagu-lagu Barat yang banyak sumpah serapah cacian dan kadang tidak sopan. Artinya, ada kejenuhan dan kekhawatiran dalam masyarakat tentang kondisi tersebut. Orangtua menganggap musik dan lirik lagu-lagu BTS aman untuk didengarkan oleh anak-anak mereka, ketimbang lirik Barat yang penuh cacian. Maka tidak heran jika sesekali menemukan tayangan video konser BTS yang ikut dihadiri oleh para orangtua yang mengidolakan mereka dan menganggap mereka pun pantas menjadi idola bagi putra putrinya.

Fakta lainnya adalah latar belakang pendidikan members BTS. Setiap members adalah lulusan S1 dan S2, terkecuali Jung Kok yang baru saja lulus S1, di bidang bisnis, broadcasting sesuai minat mereka. Terbayang bagaimana mereka menjalani pendidikan S1 dan S2 di tengah kesibukan mereka bermusik dan tour keliling dunia. Dalam berbagai media sosial juga dimunculkan nilai-nilai ketika mereka masih sekolah. Jung Kok misalnya, nyaris meraih nilai sempurna, tidak ada nilai di bawah 90. Hal ini menjadi interest bagi Army dan orangtua yang mengidolakan mereka. Dalam salah satu akun Tik Tok, seorang ibu bahkan menyebutkan alasannya membiarkan anak-anaknya mengidolakan BTS adalah pendidikan mereka. Kesibukan bermusik tidak menjadikan mereka melupakan pendidikannya.  Inilah sikap yang diharapkan Army orangtua dapat memotivasi anak-anaknya untuk terus belajar dan berprestasi.

Dan fakta terakhir rekam jejak media yang memperlihatkan keseharian mereka. Sikap santun, pekerja keras, saling suport, rendah hati, dan mungkin ratusan kebaikan lain dari mereka dapat kita temukan. Masyarakat dunia mencintai karakter positif mereka seakan mereka lupa bahwa itu adalah karakter alami yang bisa saja dimiliki orang biasa. Sayangnya, BTS yang semula biasa saja telah menjelma jadi luar biasa sehingga semuanya terlihat lebih menarik.

Dari fenomena BTS, kita bisa melihat kondisi kekhawatiran menurunnya moralitas generasi muda. Kita mencari sosok yang diharapkan mampu memperbaiki kondisi tersebut melalui musik, baik disadari atau tidak. Maka jadilah aset negara ini selalu ditunggu kehadirannya.... dianggap dapat menjadi healing untuk kondisi generasi muda saat ini.

Bagaimana dengan aset negara Indonesia? Kita tidak punya sosok idol di sini. Baik penyanyi solo ataupun grup band  belum ada yang mampu.... Wah, ga sebanding donk.... Ga bisa dibandingkan. Tentu saja, mau kita turunkan dalam lingkup lebih kecil pun kita akan kesulitan mendapatkan sosok yang bisa menjadi aset negara Indonesia bukan?

Maka sebaiknya kita memang tidak perlu mencari aset negara Indonesia dalam sosok tertentu. Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara berpuluh tahun yang lampau sudah mengisyaratkan bahwa sejatinya aset negara terletak pada generasi muda negara tersebut. Maka persiapkanlah mereka untuk terjun menjadi aset negara yang sebenarnya dalam kurun waktu 5-10 tahun ke depan. Caranya?

Guru menjadi pemeran utama untuk dapat mengukir aset negara dalam diri generasi muda Indonesia. Lagi-lagi guru dihadapkan pada tantangan untuk dapat memaksimalkan kodrat anak agar berkembang sesuai dengan kodrat zaman dan kodrat alam. Artinya, guru akan mempersiapkan murid untuk siap berkompetensi dalam berbagai situasi dan kondisi, tidak peduli perubahan zaman terjadi. Mereka harus kita bekali dengan pengerahuan dan keterampilan yang sesuai. Maka muncullah istilah guru menghamba kepada murid dalam Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Tidak ada maksud negatif dalam kalimat tersebut karena menghamba di sini bukan berarti guru menjadi pelayan yang kedudukan lebih rendah dari siswa, melainnya pada pemahaman bahwa seorang guru harus memberikan usaha terbaiknya dalam mengukir potensi anak. Guru memperhatikan keberagaman kebutuhan belajar siswa sehingga dapat melakukan pembelajaran berdiferensiasi yang mengakomodir kebutuhan tersebut. Guru adalah seorang pemimpin pembelajaran di kelas. Konsep kodrat anak yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara jauh lebih bermakna ketimbang Kecerdasan Majemuk ala Peter Gardner. 

Ketika Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, kita mungkin hanya berpikir ini adalah nama sekolah biasa. Ternyata Taman Siswa memiliki makna mendalam dalam pembelajaran seorang anak. Proses pembelajaran yang menyenangkan seolah-olah anak sedang bermain dalam sebuah taman. Ingat, belajar sambil bermain, bukan bermain sambil belajar. Lingkungan sekitar adalah taman belajar sehingga guru harus kreatif dan inovatif dalam melihat apa saja yang bisa dijadikan bahan, media, dan sumber belajar bagi siswa. Selanjutnya adalah menciptakan budaya positif dalam lingkungan belajar tersebut, terutama yang berkaitan dengan karakter siswa.  

Jadi, tidak perlu bersedih ketika kita tidak memiliki idol yang menjadi aset negara. Fokus saja untuk menjadikan generasi muda ini sebagai aset negara berpotensi. Apalagi Indonesia baru saja terpilih sebagai peringkat pertama negara paling indah di dunia versi Majalah Time Out.... Bukanlah ini juga aset negara yang dapat kita jadikan lingkungan belajar? 

Pernahkah mendengar pernyataan bahwa jika ingin menghancurkan negara maka hancurkanlah generasi muda, pendidikan, dan orangtua. Tidak ada perang fisik bukan berarti perang sudah berhenti, persaingan tidak ada. Generasi muda menjadi target utama perang model baru. Tak percaya? Perhatikan fenomena generasi muda Indonesia saat ini. Senjata yang digunakan bukan lagi persenjataan fisik, bom seperti layaknya peperangan, melainkan gempuran budaya asing, gaya hidup yang semakin menjauhkan generasi muda Indonesia nilai-nilai budaya bangsanya. Seberapa banyak generasi muda sekarang yang mampu berbicara bahasa daerahnya dengan fasih? Mengenal makanan daerahnya? Mengenal kesenian daerahnya? Beragam tanaman khas Indonesia? Mereka jauh lebih fasih berbahasa Inggris dengan dalih bahasa internasional dan familiar menyantap carbonara. Gaya hidup konsumerisme dan hedonis mulai menjadi hal biasa. Padahal, sejarah telah memberikan contoh bagaimana Turki yang pernah menjadi Kesultanan besar kemudian harus terpuruk.... Gaya hidup kapitalis dan hedonis menjadi santapan sehari-hari generasi muda Turki. Nilai-nilai agama dilupakan. Dan lihatlah bagaimana cara Presiden Erdogan membangkitkan kembali Turki dengan menarik kembali aset negaranya, generasi muda Turki. Mendekatkan kembali mereka pada nilai-nilai agama.... Mulailah dengan mewajibkan shalat Subuh berjamaah dan perlahan Turki pun bangkit.

Selanjutnya adalah pendidikan Indonesia. Beragam kebijakan dikeluarkan untuk memajukan kualitas pendidikan Indonesia, namun hasil dari PISA tetap saja tak berubah jauh. Apakah penyebabnya? Bercermin pada Finlandia yang menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, membagikan tips menarik untuk kemajuan pendidikannya yaitu karakter. Pendidikan karakter menjadi point penting yang harus disadari oleh semua orang. Penduduk Filandia menyadari hal tersebut, bahkan setiap orang memiliki kekhawatiran untuk melanggar peraturan. Bukan karena sanksi yang akan diterimanya, melainkan khawatir jika generasi muda melihat dan meniru sikap pelanggaran tersebut. Jerih payah mereka akan sia-sia selama ini. Orangtua memberikan contoh baik bagi generasi muda negaranya. Pembelajaran melalui contoh perbuatan yang dilakukan secara komitmen, konsisten, dan kontinu akan memberikan hasil terbaik. 

Di Indonesia, pemerintah menyadari pentingnya pendidikan karakter dengan merumuskan profil Pelajar Pancasila. Ada enam karakter dalam Profile Pelajar Pancasila, yaitu beriman, bertakwa, kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, kreatif, gotong royong, berkebhinekaan global, bernalar kritis, dan mandiri. Lagi-lagi guru yang diberi kesempatan untuk mengajarkan profile Pelajar Pancasila kepada siswa siswinya. Keenam profil dapat kita turunkan kembali menjadi tema-tema lain yang dapat dijadikan tema project sekolah ataupun disisipkan dalam pembelajaran di kelas sehari-hari.

Dan yang terakhir adalah orangtua, terutama Ibu yang hampir selalu berada disamping anaknya. Kita tentu masih ingat fenomena awal pandemi ketika sekolah ditutup dan mulailah masuk dalam Pembelajaran Jarak Jauh. Keluhan-keluhan mulai berdatangan. Para ibu merasa tidak sanggup mengajarkan anaknya dalam PJJ. Hai... hai.... hai.... lupakah kita pasca melahirkan dulu.... siapakah yang mengajarkannya berjalan, berlari, mengucapkan kata pertamanya? Tentu saja orangtua. Apakah ketika itu mereka ikut kursus mengajar anak dahulu? Tidak ada. Sejatinya para orangtua adalah guru di rumah dan itu sudah dijelaskan dalam Islam. Sekolah pertama dan terbaik adalah rumah dan guru terhebat adalah seorang ibu. Jadi jangan terlalu overthinking tentang peran orangtua sebagai guru di rumah. Percaya dirilah orangtua mampu menjadi guru di rumah. Jika orangtua sudah merasa lelah, gagal, tidak mampu mendidik anaknya maka pertahanan terakhir menjaga aset negara ini pun hancur. Dapatlah terbayang generasi muda Indonesia akan kehilangan pegangan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. 

Marilah kita fokus mencetak aset negara pada diri generasi muda Indonesia. Sebagai guru, tugas mulia ini tentu tidak mudah, tapi kita jangan berharap akan datang idol sebagai aset negara jika kita mau berusaha menciptakannya sendiri. Kita tidak hanya akan mencetak 1 atau 2 Jung Kok sebagai aset negaar, mengukir 5 atau 10 Taehyung untuk menarik investasi asing. Kita bisa mengukir jutaan aset negara yang 5 tahun ke depan akan memberikan pilihan suaranya untuk pemilu Indonesia dan 10 tahun ke depan boleh jadi mereka yang akan dipilih. Dua puluh tahun kemudian, tak akan ada yang pernah mengira jika presiden Indonesia adalah salah satu siswa yang pernah kita didik. Jadi, jagalah aset negara Indonesia saat ini yang sedang belajar di sekolah kita.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku), Aksi Nyata Meningkatkan Budaya Literasi Siswa dengan Merdeka Belajar

 Salam Guru Penggerak! Tak terasa modul 3.3 dari Program Pendidikan Guru Penggerak sudah hampir selesai dipelajari. Tersisa dua penugasan la...