Dalam salah satu pertemuan di kelas, seorang siswa bertanya kepada saya.... Mengapa Raja Mulawarman mempersembahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana? Pertanyaan sederhana namun sarat makna. Bukan hanya 1 atau 2 anak saja. Akan tetapi di beberapa kelas pun saya menemukan siswa yang mengajukan pertanyaan.
Dalam pandangan saya, bagaimana seorang raja perkasa Mulawarman menunjukkan rasa hormatnya terhadap kaum Brahmana melalui persembahan itu bukan hanya sekadar dilandasi keberadaan kasta Brahmana yang berada di atas kastra dirinya, sebagai kasta Ksatria yang menempati urutan kedua. Kaum Brahmana dihormati seperti layaknya seorang pemuka agama pada masa tersebut. Raja Mulawarman tidak memandang dirinya sebagai orang nomor satu di kerajaan Kutai yang memiliki kekuasaan tanpa batas. Persembahan yang tercatat dalam peninggalan kerajaan yupa berupa 7 yupa menunjukkan hubungan yang harmonis antara Raja Mulawarnan dengan kaum Brahmana.
Bandingkanlah dengan Raja Kertajaya dari kerajaan Kediri yang memilih untuk bersikap keras terhadap kaum Brahmana. Sikap memerangi Raja Kertajaya seolah melupakan siapa mereka dalam kedudukan kasta. Bukan hanya sebagai kasta tertinggi, melainkan juga sebagai pemuka agama. Kertajaya begitu angkuh menginginkan kekuasaan mutlak sehingga keberadaan kaum brahmana dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaannya. Rakyat tentu akan memilih untuk patuh kepada kaum Brahmana ketimbang dirinya jika harus dibandingkan. Padahal, Kertajaya sudah mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa yang harus disembah oleh kaum Brahmana dan pendeta Buddha.
Kedua sikap yang dicontohkan oleh raja-raja kerajaan Hindu tersebut seakan menunjukkan bahwa konflik agama dan politik sebenarnya sudah berlangsung lama. Kita melihat bagaimana kedua raja mengambil sikap yang berbeda. Raja Mulawarman menjadikan kaum Brahmana sebagai bagian dari pemerintahannya dan tak segan memberikan persembahan-persembahan. Mendapatkan dukungan kaum Brahmana sama saja artinya dengan memperoleh dukungan rakyat dan itu tentu saja akan semakin memperkuat kedudukannya.
Sebaliknya dengan Kertajaya yang sudah terkalahkan oleh nafsu kekuasaannya. Kertajaya sebagai Dandang Gendis justru menginginkan kekuasaan mutlak dengan menuntut Brahmana dan pendeta Buddha pun turut menyembahnya. Sikap otoriter ini menjadikan Kertajaya kehilangan pengikutnya sendiri dan memicu munculnya pemberontakan terhadap dirinya.
Ken Arok adalah tokoh yang memanfaatkan konflik agama dan politik Kertajaya dengan kaum Brahmana. Menggunakan alasan agama, Ken Arok mendukung gerakan kaum Brahmana untuk melawan Kertajaya yang sudah bersikap otoriter. Kemenangan dengan mudah diraih Ken Arok. Kediri pun jatuh di bawah kekuasaan Tumapel. Kertajaya, kaum Brahmana, dan rakyat sendiri pun tak sadar sudah dipermainkan oleh Ken Arok yang menggoyang isu agama dan politik tersebut.
Belajar dari peristiwa sejarah masa lalu ini, kita dapat melihat persoalan agama dan politik ternyata sangat rentan sekali. Namun demikian, keduanya sebenarnya dapat berjalan harmonis tanpa perlu dikutak katik kembali. Agama Hindu yang sudah menempatkan kaum Brahmana sebagai kasta tertinggi menunjukkan pengakuan mereka bahwa keduduka agama berada di puncak. Menaungi hal-hal lain yang ada dibawahnya. Sementara di kerajaan-kerajaan Islam, kedudukan para wali pun sebagai penasehat raja, panglima perang yang tidak pernah dipersoalkan. Para penjelajah samudera menempatkan prinsip 3 G, Gold Glory Gospel secara bersamaan. Bukankah ini semua sudah cukup menjadi bukti bahwa agama dan politik sebeneranya sudah sejak lama berjalan berdampingan?
Dari peristiwa masa lampau juga kita mengetahui yang menjadi persoalan bukanlah agama dan politik itu sendiri, melainkan nafsu manusia yang tak pernah habis. Haus kekuasaan yang menyebabkan munculnya gesekan-gesekan dengan kedua bidang tersebut. Maka sangatlah tidak mengherankan jika dalam sinema Wonder Woman digambarkan Dewa Ares yang menggoda manusia untuk berperang. Memunculkan ego dan nafsu manusia untuk berkuasa mutlak di dunia. Kemampuan manusia untuk menahan diri dari nafsu inilah yang menjadi penting dalam kehidupan di dunia.
Nah, apakah kita masih akan mempersoalkan agama dan politik? Jika sudah begitu banyak contoh peristiwa masa lalu yang menunjukkan bahwa agama dan politik sebenarnya dapat berjalan harmonis, tetapi nafsu manusialah yang merusak pandangan tersebut. Belajar sejarah bukanlah hanya sekadar untuk mengetahui peristiwa masa lalu, tetapi yang terpenting adalah makna dan pesan moral, nilai-nilai pembelajaran yang dapat kita peroleh dan jadikan pelajaran di masa kini. Sudahkah kamu melakukannya?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku), Aksi Nyata Meningkatkan Budaya Literasi Siswa dengan Merdeka Belajar
Salam Guru Penggerak! Tak terasa modul 3.3 dari Program Pendidikan Guru Penggerak sudah hampir selesai dipelajari. Tersisa dua penugasan la...
-
Industri perfilman Indonesia menjadi ramai ketika film Joker berhasil tayang tanpa gunting sensor sedetik pun oleh Lembaga Sensor Indonesia...
-
Tidak terasa, perjalanan Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4 sudah memasuk modul akhir, yaitu modul 3 dan saat ini kami baru saja m...
-
Salam Guru Penggerak! Hampir separuh perjalanan Program Pendidikan Guru Penggerak telah dilalui oleh setiap Calon Guru Penggerak Angkatan 4,...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar