Entah apa yang merasuki ketika berulang kali jatuh cinta dengan filsafat, biarpun sebenarnya ga bisa juga bicara tentang filsafat, atau bahkan jauh sekali dari pemikiran kritis orang-orang filsafat itu. Dan entah karena materinya atau yang membawakannya jadi terpesona ngantuk pun hilang. Biasanya, jangan biarkan saya duduk diam lebih dari 5 menit, maka di menit ke 6 akan terdengar suara halus zzzzz........
Biarpun mengaku cinta tapi ternyata inilah yang namanya cinta semu karena sekadar cinta tapi tak mampu meresapinya, tak mampu memahaminya. Alhasil ketika ujian Filsafat maka yang mengalir entah pemikiran filsafat ataukah tulisan mengarang bebas. Ini seperti diminta menuliskan perasaan cinta kita tetapi kesulitan merangkai kata demi kata.
Point pertama ketika ditanya apakah filsafat itu dan bagaimana proses manusia berfilsafat? Yaa, kurang lebihnya seperti itu. Jawaban saya tetap sama seperti ketika di awal kuliah ditanya apakah filsafat itu? Jawabannya, bertanya.... pertanyaan. Dalam pikiran saya, seorang filsuf selalu mempertanyakan segala sesuatu, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya tidak boleh ditanyakan. Jadilah filsafat itu semacam jawaban dari hasil proses berpikir manusia tentang gejala-gejala alam, fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan manusia itu sendiri. Lantas bagaimana manusia berfilsafat? Duh, matilah.... Tapi dasar guru sejarah maka yang dilihat adalah sudut pandang sejarahnya. Bahwa berpikir adalah kodrat manusia sejak lahir. Manusia selalu berpikir dan mempertanyakan sekelilingnya. Manusia selalu mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Ingat donk, bagaimana manusia praaksara yang sebelumnya tidak bisa apa-apa mulai berkembang dengan melewati tahapan-tahapan dalam kehidupannya. Maka kita pun mengenal tahapan berburu dan meramu, bercocok tanam tingkat awal dan lanjut. Atau kita juga mengenal zaman batu tua, zaman batu menengah, zaman batu muda, zaman batu besar, hingga ke zaman logam. Perkembangan tahapan kehidupan manusia itu menunjukkan poses berpikir manusia sehingga mampu menciptakan peralatan hidup, sistem sosial, sistem kepercayaan, hingga sistem pemerintahannya. Manusia di awal sangat tergantung pada alam yang mengakibatkan munculnya mitos-mitos adanya kekuatan di alam semesta. Ketergantungan terhadap alam di awal kehidupannya hingga kemudian manusia membalikkan keadaan dengan kemampuannya berpikir juga mampu menguasai alam. Apakah kemudian manusia berhenti sampai disitu? Tidak! Hingga kini manusia masih terus berpikir mempertanyakan. Jika manusia berhenti berpikir maka sama saja menghapus keberadaannya di dunia. Cogito Ergo Sum... Saya berpikir karena itu saya ada. Jika saya berhenti berpikir maka saya pun menjadi tiada.
Persoalannya adalah ketika manusia menemukan hal-hal yang di luar logika manusia. Hal-hal yang tidak dapat dijelaskan melalui panca indera manusia. Manusia mulai mempertanyakan mitos-mitos yang diciptakannya dahulu, bahkan ketika kemudian keyakinan akan wahyu Illahi yang bernama Agama muncul, sebagian mungkin masih mempertanyakannya sehingga memilih untuk berada di luar zona itu atau mereka menyebutnya Zona Tanpa Tuhan.
Pertanyaan berikutnya, tentang ontologi.... Makna, asumsi, peluang, dan metafisika dalam dunia pendidikan.. Duh.... Gusti.... Belum beres yang satu, liat soal berikutnya berasa tipis peluang dapat A. Saya sudah berasumsi ujian filsafat ini bakal ga maksimal dan sepertinya saya gagal pula mendapat makna filsafat ilmu dalam kependidikan. Kenapa manusia harus mempertanyakan ada dan mengapa harus ada? Tapi bukannya setiap yang ada di dunia itu pastilah mempunyai peran masing-masing. Setiap yang diciptakan-Nya memiliki peran, fungsi, manfaat.... atau dengan kata lain, setiap yang diciptakan-Nya pastilah bermakna bagi makhluk hidup lainnya, bahkan benda mati yang diciptakan pun pastilah bermakna. Begitu pula pendidikan. Manusia dalam proses berpikirnya menyadari pentingnya pendidikan bagi perkembangan peradaban manusia. Namun, pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang bermakna. Bukan sekadar mengajarkan murid materi-materi belaka. Oleh karena itu, jika ontologi mempelajari segala sesuatu yang ada dan mengapa harus ada maka pendidkan adalah sesuatu yang ada dan harus ada karena manusia tidak akan menjadi manusia yang berkualitas tanpa pendidikan. Bukankah guru sudah mendapat tunjangan profesi dan diakui keprofesionalannya sehingga tidak boleh pilih-pilih siswa dan harus mampu bekerja secara profesional mencerdaskan anak bangsa. Ada juga yang berasumsi, sistem PPDB Online dengan zonasi telah memotong tingkat kecurangan pendaftar siluman. Dengan zonasi, semakin jelas posisi siswa pendaftar.
Meskipun demikian, sistem PPDB Online dengan sistem zonasi bukanlah kebijakan yang langsung menjadi sempurna. Banyaknya asumsi dan disertai dengan temuan-temuan menunjukkan masih adanya peluang untuk kecurangan itu terjadi. Namun bukan berarti kebijakan ini akan langsung dihapus atau digantikan. Peluang-peluang kecurangan yang muncul seperti adanya Kartu Keluarga fiktif telah menjadi bahan pertimbangan untuk memperbaiki kebijakan tersebut dan menutup peluang kecurangan. Menariknya, meskipun peluang memiliki rumus pasti dalam kajian matematika, tetapi filsafat mengenal hukum alam yang dapat begitu saja meruntuhkan hukum pasti rumus peluang tersebut. Dan hukum alam adalah sesuatu yang tak terbantahkan bahkan oleh kajian filsafat sekalipun. Kehendak Illahi tak bisa dijelaskan dengan panca indera manapun. Inilah yang kemudian menjadi bagian dari metafisika. Sayangnya, sejujurnya saya berusaha keras memikirkan keterkaitan metafisika ini dengan dunia pendidikan, namun semua kata yang terangkai sepertinya hanya permainan kata belaka. Disinilah saya bermain peluang, semoga ada sebagian yang saya tulis ini benar adanya wwwwkkkkkk.....

Next adalah tentang filosofi pendidikan. Filsafat melahirkan filosofi pendidikan salah satunya. Dan yang paling terkenal dalam dunia pendidikan adalah filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Ketiga filosofi beliau dianut dan dijadikan panutan bagi seorang guru. Sayangnya, seiring perkembangan zaman, filosofi pendidikan beliau seperti tertutup oleh filosofi ataukah slogan-slogan lain yang lebih millenial. Namun, apapun bentuk filosofi tersebut jika kita tidak dapat menerapkannya maka filosofi itu hanya akan menjadi sekadar pajangan saja. Manis dilihat tapi tak pernah disentuh. Mungkin saja generasi milenial sekarang lebih paham filosofi kopi..... Semanis apapun kopi, tetap saja ada pahitnya.... Jadilah seperti secangkir kopi, ketika manisnya gula bertemu pahitnya kopi yang terbentuk adalah kehangatan.... wwwwkkkkk.... Ki Hajar Dewantara pun tersaingi dengan Chiko Jerico 🙈
Terakhir tentang pendidikan, peradaban dan unsur-unsur kebudayaan.... Ok, di sini kembali insting guru sejarah muncul. Penjelasan kembali mengkaitkan pengalaman sejarah di masa lampau dengan kehidupan masa kini. Di awal telah dijelaskan bagaimana filsafat berkembang sebagai sebuah pengetahuan. Dan kita juga melihat proses berpikir manusia sebagai bagian dari proses berfilsafat. Nah, dari pemikiran-pemikiran itulah muncul kesadaran betapa pentingnya pendidikan bagi manusia. Kebudayaan lahir sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Kebudayaan dengan segenap unsurnya terus diwariskan secara turun temurun. Melalui apakah? Pendidikan pastinya. Kita tentu saja tidak membicarakan pendidikan secara formal, tetapi juga pendidikan informal. Seorang bayi yang baru lahir akan tumbuh berkembang dan belajar dari orangtuanya, dari lingkungan sekitarnya. Artinya, keluarga pun merupakan tempat belajar, sarana pendidikan pertama bagi seorang anak. Keluarga menanamkan nilai, norma, keterampilan, dan kecerdasan sebagai modal bagi sang anak untuk memasuki lingkungan yang lebih luas, menempuh pendidikan formal di sekolah. Dengan demikian, pendidikan sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri, namun pendidikan terus dikembangkan tanpa batas.
Majunya pendidikan suatu bangsa akan melahirkan manusia berkualitas yang mampu menciptakan kebudayaan bernilai tinggi atau kita kenal dengan peradaban. Dalam sejarah, kita mengenal adanya Peradaban Yunani, Peradaban Romawi, Peradaban Cina, Peradaban Babilonia, dan yang lainnya. Akan tetapi, tidak semua daerah itu kita sebut peradaban. Setiap daerah memiliki kebudayaan, tetapi tidak semua daerah dapat menjadikan kebudayaannya itu sebagai peradaban. Daerah-daerah yang disebut dengan peradaban awal memiliki keunggulan dalam kebudayaannya. Yunani dengan filsafat, Romawi dengan militernya, Cina dengan perdagangannya, Babilonia dengan Hukum Hamurabi. Bagaimanakah mereka mencapai peradabannya itu? Jawabannya adalah pendidikan yang maju dan berkualitas. Dan dalam pendidikan itu terdapat filosofi pendidikan yang harus kita pegang teguh dan aplikasikan.
Pendidikan yang berkualitas bukan hanya ditentukan dengan penggunaan teknologi saja. Sejak awal filsafat telah memakannya pentingnya menjadi manusia seutuhnya. Menjadi manusia yang manusiawi. Bukan menjadi homo homini lupus. Filsafat telah menunjukkan karakter adalah kunci utama kesuksesan suatu bangsa. Karakter akan membentuk manusia unggul yang mampu beradaptasi dan bersaing sehat dalam kondisi apapun. Finlandia sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia telah menunjukkan bagaimana pendidikan maju yang mereka ciptakan dibangun dari hasil pembentukan karakter manusianya terlebih dahulu. Diceritakan betapa orang-orang Finlandia sangat takut untuk melanggar setiap aturan yang telah ditetapkan dimanapun berada. Apakah karena sanksi yang begitu berat? Bukan, tetapi mereka takut jika sikap mereka melanggar aturan itu akan dicontoh oleh generasi berikutnya. Suatu sikap yang luar biasa karena dibutuhkan kesadaran dan kejujuran individunya. Dengan demikian, mereka secara turun temurun menunjukkan karakter baik yang kemudian dicontoh oleh generasi berikutnya. Nah, jika masyarakat biasa saja sudah berpikir demikian, apalagi sebagai guru yang berkecimpung langsung di dunia pendidikan ya? Budayakan rasa malu ketika kita meminta anak untuk tidak terlambat, tetapi kita sendiri terlambat. Ketika kita meminta mereka tepat waktu mengerjakan tugas, tetapi kita sendiri telat mengumpulkan perangkat mengajar kita, malu ketika kita melarang anak merokok, tetapi ternyata kita sendiri merokok diam-diam di pojok sekolah.
Nah..... jadilah ngalor ngidul jawaban semua soal UTS Filsafat ini 🤣 Pada saat detik-detik terakhir mengumpulkan saya pun teringat candaan teman pada malam sebelum ujian.... Yang penting ada tulisannya di kertas, Bu..... Filosofi salah yang menenangkan dan semoga tidak dicontoh oleh anak-anakku di sekolah.... Seperti filosofi kopi, semanis apapun tetap saja kopi itu pahit.... Secinta-cintanya dengan filsafat, tetap saja sulit 🤭