Selasa, 17 Desember 2019

Cofee Book.... Tulis Dulu, Merancang QB di Kota Kecil


Sejak kapan suka menulis? Sejak SMA juga suka bikin cerita yang ditulis di buku tulis 'n dibaca teman-teman. Pada akhir cerita, ada kolom khusus untuk mereka memberi komentar.

Entah berapa tahun lalu jadi suka lagi menulis. Menulis apa? Apa aja yang lagi disuka. Lagi suka puisi, ya jadilah beragam puisi. Lagi suka cerpen, ya jadilah beragam cerpen. Lagi suka artikel? Jadilah blog.... karena kalau nulis di facebook bakal panjang dan tiba-tiba ada komen suruh posting resep masakan aja gara-gara berbeda kubu, wwwwkkkkk.....

Menulis menjadi suatu kebutuhan, baik dalam arti kiasan maupun arti sebenarnya. Yang jelas, cuma suka aja. Idenya? Apa aja. Setiap orang hidup pasti mengalami peristiwa dan itu bisa jadi catatan manis untuk ditulis. Jangan bilang kisah hidup saya tidak sedramatis kamu, jadi saya tidak bisa menulis seperti kamu. No... big no.... Menulis itu dari hati. Bukan dari pengalaman pahit. Emangnya penulis-penulis besar itu kisah hidupnya pahit-pahit macam kopi pahit sehingga bisa jadi penulis handal..... Kaya pengalaman bukan berarti kaya penderitaan juga kalee....

Ada beberapa hal yang ditulis berdasarkan pengalaman, ada juga yang hasil imajinasi, atau hasil observasi. Tergantung kebutuhan dan permintaan saja. Yang jelas melakukan sesuatu yang kita suka itu lebih nyaman. Melakukan sesuatu sesuai passion kita sendiri.

Perjalanan menulis lama-lama membentuk satu periode tersendiri. Ketika di awal banyak bermain perasaan dan imajinasi tentang rasa itu sendiri. Pilihan kata bermain. Ribuan majas tertuang. Akan tetapi, lama-lama mulai berpikir untuk belajar hal lain. Bukan lagi bermain rasa dan majas. Coba saja tengok, kalau dulu lebih sering bikin puisi romantis ala2 Emka, Sapardji, terus mulai pengen bikin puisi sufi ala2 Jalaluddin Rumi. Selesai? Mulai bikin cerita.... Selesai, coba lagi bikin tentang anak, puisi atau cerita. Duh, ternyata ga gampang loh bikin puisi atau cerpen anak. Pilihan tema dan bahasanya harus diperhatikan. Makanya mulai pilih-pilih kalau mau ikutan event menulis. Pengennya yang bisa jadi pembelajaran buat kita eh saya juga. Bukan sekadar event-event berbayar yang seleksinya pun ga jelas.

Selesai bermain rasa dan imajinasi, mulai deh beralih ke tulisan yang lebih serius. Buku teks ataupun buku pembelajaran lainnya. Inginnya sih bikin tulisan yang bisa bermanfaat buat orang lain juga. Coba aja tengok, belakangan ini buku yang muncul sedikit bertema serius loh 🤣

Sekarang pengen nulis apa?
Di kampus lagi banyak tugas artikel jurnal dan sepertinya bagus juga untuk mulai kembali ke jalur ilmiah setelah bermain-main di seni. Makanya paling suka kalo kerja kelompok pilih bagian nulis artikel r makalah, karena buat saya itu jadi latihan menulis ilmiah yang bener loh. Apalagi kalo dosennya serius koreksi n kasi catatan-catatan revisi. Hitung-hitung kalo tugas artikel itu dikumpulin bisa jadi book chapter kan nantinya 🤗

Apalagi yang bikin suka nulis?
Moncil.... nie anak suka merhatiin kalo lagi nulis. Rajin banget ngitungin buku ibunya. Baca-baca juga. Akhirnya sempet loh bikin 8 cerpen tapi sayangnya belum lanjut lagi karena passion keterampilannya lebih tinggi dari menulis.

Saya coba simpan kumpulan buku yang pernah ditulis ya. Cita-cita dulu kalo pensiun pengen bikin baby shop, tapi sepertinya sekarang bergeser. Pengen punya PAUD.... Pengen punya cofeebook. Inget deh jaman kuliah, denger ada toko buku plus cafe kopi yang namanya QB di daerah elit Jakarta Raya. Sampai lulus kuliah dan kerja pun ga pernah kesampean mampir di sana. Bahkan, denger-denger tokonya sekarang tutup ya? Atau mungkin bikin perpustakaan plus coffe shop macam Reading Room di Kemang sana?



Nah, nanti cofeebook punya saya bakal diisi dengan buku-buku sendiri plus buku-buku lain. Asyik ga sih? Sediakan satu pojok dengan laptopnya. Sambil jaga toko, tetap bisa nulis. Siapa tahu dari pengunjung toko dapat ilhamnya....















Sabtu, 07 Desember 2019

Mencari Sekeping Ilmu dan Etika Keilmuan dalam Kebudayaan hingga Peradaban

Beberapa waktu lalu dapat tugas tentang ilmu, kebudayaan, dan peradaban. Tentu saja ini jadi hal menarik, mudah tapi mengingatkan untuk mengkaitkannya dengan filsafat pendidikan kita.

Sejak awal, dalam tugas UTS saya berpendapat bahwa ilmu lah yang mendorong munculnya kebudayaan. Semakin tinggi ilmu maka akan semakin tinggi pula peradaban suatu bangsa. Di sisi lain, ilmu sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan  juga. Ilmu merupakan pengembangan dari sistem pengetahuan yang merupakan salah satu unsur kebudayaan universal.

Manusia sebagai makhluk cerdas yang selalu berpikir dalam kehidupannya. Manusia sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi akhirnya menciptakan kebudayaannya. Dalam hal ini, kita mengenal adanya periodisasi yang dapat memperlihatkan perkembangan kebudayaan manusia tersebut.
1. Masa berburu dan meramu (Society 1.0)
2. Masa bercocok tanam tingkat awal (Society 2.0)
3. Masa bercocok tanam tingkat lanjut (Society 3.0)
4. Masa industri (Society 4.0)
5. Masa teknologi digital (5.0)

Namun demikian, dalam perkembangannya, pengetahuan, ilmu akan dipengaruhi pula oleh kebudayaan setempat. Misalkan saja, Jepang berhasil membangun rumah antigempa dengan ilmu arsitektur yang luar biasa. Mengapa di daerah lain tidak? Karena kondisi alam Jepang yang menuntut masyarakat Jepang menyesuaikan diri. Akhirnya, ilmu yang muncul pun menyesuaikan dengan kebudayaan setempat yang dipengaruhi lingkungannya.

Tahapan perkembangan seperti yang telah disebutkan di atas menunjukkan kebudayaan dan ilmu yang berkembang. Misalkan saja pada tahap berburu dan meramu, pengetahuan yang berkembang adalah tentang hewan dan berburu. Jenis hewan, kondisi hewan, hingga senjata berburu yang tepat.

Jika ilmu dan kebudayaan saling mempengaruhi maka kita tidak boleh melupakan etika keilmuan yang harus dimiliki seorang ilmuwan sebagai tokoh utama yang mengembangkan pengetahuan dan ilmu. Setiap manusia memiliki panutan nilai moral yang berbeda-beda. Dijelaskan dalam buku Filsafat Ilmu, Jujun S. Suriasumantri, terdapat dua golongan yang berbeda mengenai ontologi dan aksiologi sebuah ilmu. Golongan pertama yang menganggap manusia dapat mencari dan mengembangkan ilmu secara ontologi dan secara aksiologi pun bebas saja penggunaannya, baik untuk hal positif atau negatif. Sementara golongan kedua mempertimbangkan pencaharian ilmu secara ontologi dan aksiologi ilmu untuk hal-hal yang positif. Inilah yang menunjukkan bahwa manusia pun memiliki etika moral keilmuan yang berbeda.



Mengapa etika moral keilmuan menjadi penting dalam ilmu? Sejarah telah menunjukkan perkembangan ilmu berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Penemuan rumus energi oleh Einstein berhasil mengembangkan bom atom dan nuklir yang dipergunakan untuk mengakhiri Perang Dunia. Dalam hal ini, ilmu menunjukkan sifat universalnya. Einstein bukan memikirkan kemenangan Blok Sekutu melainkan nasib manusia di dunia jika perang tak kunjung selesai dan Jerman dibiarkan berkuasa. Korban yang jatuh akan jauh lebih besar. Hal yang sama juga dilakukan ketika Amerika Serikat memutuskan penggunaan bom atom untuk mengakhiri Perang Dunia 2. Bom atom yang dijatuhkan di dua kota, Hiroshima dan Nagasaki memang menelan banyak korban, tetapi pertimbangannya adalah korban yang jatuh akan lebih besar jika perang terus terjadi.

Pada periode Perang Dingin, perang teknologi sangat luar biasa. Ilmuwan-ilmuwan dari kedua kubu seakan dipaksa untuk mengembangkan keilmuannya dan menemukan beragam teknologi baru yang lebih canggih, terutama di bidang persenjataan. Akan tetapi, mereka yang terlibat bukanlah tanpa ada rasa khawatir. Ini terbukti dengan keluarnya perjanjian SALT yang membatasi penggunaan senjata.  Secara tidak langsung, hal itu menunjukkan masih ada rasa takut, rasa moral manusia yang muncul dan kekhawatiran akan jatuhnya banyak korban atau malah pecah perang dunia kembali. 

Perkembangan ilmu telah membawa manusia pada tahap Society 5.0. Ketika teknologi digital berkembang pesat dan Manusia telah berhasil mengintegrasikan penggunaan teknologi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kunci utamanya adalah manusia tetap menjadi peran utama kemajuan suatu ilmu. Ilmu dikembangkan dan disesuaikan dengan kebudayaan manusia, teknologi dikembangkan untuk mempermudah manusia. Dengan demikian, manusialah yang mengatur teknologi dan penggunaannya. 

Berbeda dengan Revolusi Industri 4.0. Penggunaan teknologi hanya sebatas bidang industri, ekonomi saja. Dalam periodisasi Revolusi Industri ini justru mengesampampingkan sisi humanis dari seorang manusia. Kemajuan teknologi justru mengikis keberadaan manusia. Lihatlah dampak revolusi industri di awal kemunculannya. Pergantian tenaga manusia dengan tenaga mesin telah menimbulkan gejolak tersendiri. Teknologi justru yang harus menyesuaikan dengan manusia, bukan sebaliknya. 

Bagaimana dengan peradaban? Kebudayaan berbeda dengan peradaban. Kebudayaan yang memiliki nilai tinggi, artinya jika dibandingkan dengan kebudayaan lain yang ada, sudah maju. Dan kemajuan kebudayaan ini tentunya dipengaruhi oleh kemajuan ilmu juga. Peradaban Yunani dengan ilmu filsafatnya, peradaban Romawi dengan ilmu perangnya, peradaban Mesir dengan ilmu arsitekturnya. 

Nah, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan antara ilmu, etika keilmuan, kebudayaan, dan peradaban terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Manusia menghasilkan  kebudayaan yang salah satu unsurnya adalah pengetahuan. Pengetahuan berkembang menjadi sebuah ilmu. Selanjutnya ilmu mendorong kemajuan budaya yang menghasilkan peradaban. Perkembangan ilmu selanjutnya juga akan dipengaruhi oleh kebudayaan setempat dan penggunaannya tentu saja dipengaruhi oleh etika keilmuan, nilai-nilai moral dari ilmuwan dan orang-orang yang menggunakannya. 


Setelah sekian lama kuliah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, akhirnya pun saya baru sadar hubungan kata tersebut, Ilmu, Pengetahuan, dan Budaya sekarang.... 16 tahun kemudian 😂

Kalau boleh dikritik, mengikuti kata Pak Dosen.... seharusnya pengetahuan dulu baru ilmu.... kalau dari konteks sejarah pun, pengetahuan dulu yang muncul baru ilmu.... Jadi, apa perlu diganti namanya? Wwwwkkkkk.... 

Senin, 25 November 2019

Menjadi Guru yang Tidak Gurumusuh

Selamat Hari Guru untuk semua guru di mana pun berada. Tidak hanya terbatasi guru yang berada di dalam ruang kelas, tapi juga mereka yang telah mendidik, mengajarkan tentang kehidupan.... Mereka yang sudah menjadi guru kehidupan.

Siapakah Guru sebenarnya? Tentu saja mengacu pada mereka yang berdiri di depan kelas dan menyampaikan materi pada siswa siswinya. Padahal, guru tidaklah terbatas di ruang kelas.

Dalam konsep sosiologi, kita mengenal beberapa tahapan perkembangan anak. Dimulai dari tahap Prepatory Stage, Play Stage, Game Stage, hingga Generalizing Stage. Seorang anak yang baru dilahirkan tidak akan tiba-tiba menjadi jenius begitu saja. Dia harus belajar berjalan, bicara, dan siapakah yang berperan menjadi gurunya? Tentu tidak mungkin mereka yang baru lahir sudah disekolahkan bukan? Orangtua, terutama ibulah yang akan mengambil peran guru bagi anak-anak mereka itu. Mereka mempersiapkan anak-anak mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Mempersiapkan mereka agar mampu menjalani kehidupan barunya di dunia.

Selanjutnya, mereka akan memasuki tahap Play Stage. Mereka mulai belajar meniru perilaku orang-orang di sekelilingnya, terutama orangtuanya. Anak akan menduplikat perilaku orangtuanya disadari ataupun tidak. Oleh karena itu, orangtua haruslah memberikan contoh yang baik dalam interaksinya dengan anak dan anggota keluarga lainnya. Mulai dari cara berbicara, cara bersikap, hingga berpikir sederhana. Peran orangtua sebagai guru pada tahap ini luar biasa. Dapat kita simpulkan, orangtua menjadi guru bagi anaknya tanpa batasan waktu dan ruang.

Tahap Game Stage adalah ketika anak mulai dapat menemukan pilihan dirinya sendiri. Keinginan untuk menjadi dirinya sendiri, sudah dapat memutuskan untuk dirinya sendiri akan seperti apa. Tahap ketika tingkat egoisme seorang anak begitu tinggi. Orangtua harus bermain tarik ulur dengan anak-anaknya. Mereka tidak lagi mengekor orangtua, tetapi sudah menemukan teman sepermainannya yang memiliki pengaruh besar terhadap perubahan perilakunya. Orangtua sebagai guru harus belajar bagaimana menempatkan dirinya agar anak-anak tetap dekat dengan mereka. Tidak beralih pada teman sepermainan mereka. Egois adalah salah satu yang harus dipahami dan ditaklukkan.

Terakhir adalah tahap Generalized Stage, yaitu tahap ketika anak mulai mampu berpikir kritis, mampu menyesuaikan dirinya dalam masyarakat dengan nilai dan norma yang berlaku. Eksistensi dirinya dalam masyarakat sangat diperlukan.

Nah, dari keempat tahap perkembangan anak, kita dapat melihat posisi guru di sekolah dengan posisi orangtua di rumah. Orangtua berada pada setiap tahap yang berjalan, atau minimal tiga tahap awal. Sementara guru di sekolah mulai berperan pada tahap kedua dan ketiga. Dengan demikian, pantaslah orangtua kita sebut sebagai guru.... guru kehidupan....

Orangtua sebagai guru tentu saja tidak harus membuat perangkat pembelajaran, media pembelajaran, sampai hitung menghitung nilai rapor. Orangtua tidak dibebani dengan segala administrasi tersebut, tetapi ingatlah bahwa pertanggungjawaban orangtua dalam mendidik anaknya itu adalah pada Ilahi....

Rumah menjadi sekolah pertama untuk seorang anak. Orangtua adalah guru di sekolah tersebut. Keluarga adalah lingkungan sekolah yang tercipta. Dari sinilah seorang anak muncul dengan segala perilakunya. Maka ketika terjadi masalah, keluarga, orangtua akan menjadi pihak pertama yang ditanyakan.

Bagaimana dengan guru di sekolah? Guru di sekolah melanjutkan pola didik orangtua di rumah, tapi ingatlah bahwa karakter anak sudah mulai terbentuk. Inilah yang terkadang membuat kita sulit mendidik anak di sekolah. Melanjutkan pola didik anak-anak yang beragam adalah luar biasa. Belum lagi dengan tuntutan administrasi dan peningkatan kompetisi sesuai perkembangan jaman. Guru bukan hanya harus belajar untuk menyiapkan materi ajarnya, tetapi juga untuk bergelut dengan administrasi dan peningkatan kompetisi dirinya.

Di era millenial atau masa Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ini, jika tidak mampu beradaptasi maka kita akan tertinggal. Generasi Z yang berkembang di era milenial memiliki gap, jarak dengan kita. Mereka memilki kemampuan teknologi yang cukup baik. Kemajuan teknologi diikuti pula dengan pengaruh luar biasa dari media yang mengubah pola pikir generasi muda milenial, ada yang negatif tetapi banyak juga yang positif. Disinilah pentingnya proses belajar sebagai guru. Kita sebagai guru tidak bisa egois, terkadang kita pun perlu belajar dari anak murid kita.



Pernah nonton film Freedom Writer? Lean on Me? Blind Side? Take The Lead? Coba deh sesekali dicari dan tontonlah. Film jadul tapi menginspirasi sekali. Bukan karena ada aktor ganteng Antonio Banderas, aktor keren Anthony Hopkins dan Morgan Freeman, atau si cantik Hillary Swank loh. Tapi semua diambil dari kisah nyata pengalaman seorang guru dan orangtua. Apa persamaannya? Mereka bekerja dengan hati. Yang keras ataupun lembut tetap menggunakan hati, ketulusan dan kasih sayang.

Saya pikir tak ada yang lebih relevan dari ketulusan hati dalam mengajar. Apapun jamannya, apapun model pembelajarannya, siapapun muridnya, bagaimanapun kebijakannya. Menjalaninya dengan hati akan membuatnya menjadi lebih mudah. Maka jadilah seorang  guru yang tidak gurumusuh.

Setiap kali mengajar, saya suka menyebar angket untuk mereka. Tak perlu nama tak perlu kelas. Untuk sekadar instropeksi diri dalam mengajar. Kita bisa tersenyum-senyum membacanya. Ada yang lelucon tapi banyak juga yang serius dan dapat dimasukan sebagai bahan instropeksi di semester mendatang.

Soo, berbahagialah menjadi seorang guru.  Selain Anda adalah guru di rumah bagi anak-anak, Anda pun guru bagi mereka yang telah mengamanahkan pendidikan anak-anaknya di sekolah tempat Anda mengajar. Anda memiliki kesempatan belajar di sekolah dari mereka, untuk anak-anak Anda di rumah.

Sekali lagi, selamat Hari Guru....


Minggu, 24 November 2019

Filosofi Pendidikan dan Filosofi Kopi, Antara Kebingungan dan Yang Penting Ada Tulisan



Entah apa yang merasuki ketika berulang kali jatuh cinta dengan filsafat, biarpun sebenarnya ga bisa juga bicara tentang filsafat, atau bahkan jauh sekali dari pemikiran kritis orang-orang filsafat itu. Dan entah karena materinya atau yang membawakannya jadi terpesona ngantuk pun hilang. Biasanya, jangan biarkan saya duduk diam lebih dari 5 menit, maka di menit ke 6 akan terdengar suara halus zzzzz........

Biarpun mengaku cinta tapi ternyata inilah yang namanya cinta semu karena sekadar cinta tapi tak mampu meresapinya, tak mampu memahaminya. Alhasil ketika ujian Filsafat maka yang mengalir entah pemikiran filsafat ataukah tulisan mengarang bebas. Ini seperti diminta menuliskan perasaan cinta kita tetapi kesulitan merangkai kata demi kata.

Point pertama ketika ditanya apakah filsafat itu dan bagaimana proses manusia berfilsafat? Yaa, kurang lebihnya seperti itu. Jawaban saya tetap sama seperti ketika di awal kuliah ditanya apakah filsafat itu? Jawabannya, bertanya.... pertanyaan. Dalam pikiran saya, seorang filsuf selalu mempertanyakan segala sesuatu, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya tidak boleh ditanyakan. Jadilah filsafat itu semacam jawaban dari hasil proses berpikir manusia tentang gejala-gejala alam, fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan manusia itu sendiri. Lantas bagaimana manusia berfilsafat? Duh, matilah.... Tapi dasar guru sejarah maka yang dilihat adalah sudut pandang sejarahnya. Bahwa berpikir adalah kodrat manusia sejak lahir. Manusia selalu berpikir dan mempertanyakan sekelilingnya. Manusia selalu mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Ingat donk, bagaimana manusia praaksara yang sebelumnya tidak bisa apa-apa mulai berkembang dengan melewati tahapan-tahapan dalam kehidupannya. Maka kita pun mengenal tahapan berburu dan meramu, bercocok tanam tingkat awal dan lanjut. Atau kita juga mengenal zaman batu tua, zaman batu menengah, zaman batu muda, zaman batu besar, hingga ke zaman logam. Perkembangan tahapan kehidupan manusia itu menunjukkan poses berpikir manusia sehingga mampu menciptakan peralatan hidup, sistem sosial, sistem kepercayaan, hingga sistem pemerintahannya. Manusia di awal sangat tergantung pada alam yang mengakibatkan munculnya mitos-mitos adanya kekuatan di alam semesta. Ketergantungan terhadap alam di awal kehidupannya hingga kemudian manusia membalikkan keadaan dengan kemampuannya berpikir juga mampu menguasai alam. Apakah kemudian manusia berhenti sampai disitu? Tidak! Hingga kini manusia masih terus berpikir mempertanyakan. Jika manusia berhenti berpikir maka sama saja menghapus keberadaannya di dunia. Cogito Ergo Sum... Saya berpikir karena itu saya ada. Jika saya berhenti berpikir maka saya pun menjadi tiada.

Persoalannya adalah ketika manusia menemukan hal-hal yang di luar logika manusia. Hal-hal yang tidak dapat dijelaskan melalui panca indera manusia. Manusia mulai mempertanyakan mitos-mitos yang diciptakannya dahulu, bahkan ketika kemudian keyakinan akan wahyu Illahi yang bernama Agama muncul, sebagian mungkin masih mempertanyakannya sehingga memilih untuk berada di luar zona itu atau mereka menyebutnya Zona Tanpa Tuhan.

Pertanyaan berikutnya, tentang ontologi.... Makna, asumsi, peluang, dan metafisika dalam dunia pendidikan.. Duh.... Gusti.... Belum beres yang satu, liat soal berikutnya berasa tipis peluang dapat A. Saya sudah berasumsi ujian filsafat ini bakal ga maksimal dan sepertinya saya gagal pula mendapat makna filsafat ilmu dalam kependidikan. Kenapa manusia harus mempertanyakan ada dan mengapa harus ada? Tapi bukannya setiap yang ada di dunia itu pastilah mempunyai peran masing-masing. Setiap yang diciptakan-Nya memiliki peran, fungsi, manfaat.... atau dengan kata lain, setiap yang diciptakan-Nya pastilah bermakna bagi makhluk hidup lainnya, bahkan benda mati yang diciptakan pun pastilah bermakna. Begitu pula pendidikan. Manusia dalam proses berpikirnya menyadari pentingnya pendidikan bagi perkembangan peradaban manusia. Namun, pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang bermakna. Bukan sekadar mengajarkan murid materi-materi belaka. Oleh karena itu, jika ontologi mempelajari segala sesuatu yang ada dan mengapa harus ada maka pendidkan adalah sesuatu yang ada dan harus ada karena manusia tidak akan menjadi manusia yang berkualitas tanpa pendidikan. Bukankah guru sudah mendapat tunjangan profesi dan diakui keprofesionalannya sehingga tidak boleh pilih-pilih siswa dan harus mampu bekerja secara profesional mencerdaskan anak bangsa. Ada juga yang berasumsi, sistem PPDB Online dengan zonasi telah memotong tingkat kecurangan pendaftar  siluman. Dengan zonasi, semakin jelas posisi siswa pendaftar.

Meskipun demikian, sistem PPDB Online dengan sistem zonasi bukanlah kebijakan yang langsung menjadi sempurna. Banyaknya asumsi dan disertai dengan temuan-temuan menunjukkan masih adanya peluang untuk kecurangan itu terjadi. Namun bukan berarti kebijakan ini akan langsung dihapus atau digantikan. Peluang-peluang kecurangan yang muncul seperti adanya Kartu Keluarga fiktif telah menjadi bahan pertimbangan untuk memperbaiki kebijakan tersebut dan menutup peluang kecurangan. Menariknya, meskipun peluang memiliki rumus pasti dalam kajian matematika, tetapi filsafat mengenal hukum alam yang dapat begitu saja meruntuhkan hukum pasti rumus peluang tersebut. Dan hukum alam adalah sesuatu yang tak terbantahkan bahkan oleh kajian filsafat sekalipun. Kehendak Illahi tak bisa dijelaskan dengan panca indera manapun. Inilah yang kemudian menjadi bagian dari metafisika. Sayangnya, sejujurnya saya berusaha keras memikirkan keterkaitan metafisika ini dengan dunia pendidikan, namun semua kata yang terangkai sepertinya hanya permainan kata belaka. Disinilah saya bermain peluang, semoga ada sebagian yang saya tulis ini benar adanya wwwwkkkkkk.....

Next adalah tentang filosofi pendidikan. Filsafat melahirkan filosofi pendidikan salah satunya. Dan yang paling terkenal dalam dunia pendidikan adalah filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Ketiga filosofi beliau dianut dan dijadikan panutan bagi seorang guru. Sayangnya, seiring perkembangan zaman, filosofi pendidikan beliau seperti tertutup oleh filosofi ataukah slogan-slogan lain yang lebih  millenial. Namun, apapun bentuk filosofi tersebut jika kita tidak dapat menerapkannya maka filosofi itu hanya akan menjadi sekadar pajangan saja. Manis dilihat tapi tak pernah disentuh. Mungkin saja generasi milenial sekarang lebih paham filosofi kopi..... Semanis apapun kopi, tetap saja ada pahitnya.... Jadilah seperti secangkir kopi, ketika manisnya gula bertemu pahitnya kopi yang terbentuk adalah kehangatan.... wwwwkkkkk.... Ki Hajar Dewantara pun tersaingi dengan Chiko Jerico 🙈

Terakhir tentang pendidikan, peradaban dan unsur-unsur kebudayaan.... Ok, di sini kembali insting guru sejarah muncul. Penjelasan kembali mengkaitkan pengalaman sejarah di masa lampau dengan kehidupan masa kini. Di awal telah dijelaskan bagaimana filsafat berkembang sebagai sebuah pengetahuan. Dan kita juga melihat proses berpikir manusia sebagai bagian dari proses berfilsafat. Nah, dari pemikiran-pemikiran itulah muncul kesadaran betapa pentingnya pendidikan bagi manusia. Kebudayaan lahir sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Kebudayaan dengan segenap unsurnya terus diwariskan secara turun temurun. Melalui apakah? Pendidikan pastinya. Kita tentu saja tidak membicarakan pendidikan secara formal, tetapi juga pendidikan informal. Seorang bayi yang baru lahir akan tumbuh berkembang dan belajar dari orangtuanya, dari lingkungan sekitarnya. Artinya, keluarga pun merupakan tempat belajar, sarana pendidikan pertama bagi seorang anak. Keluarga menanamkan nilai, norma, keterampilan, dan kecerdasan sebagai modal bagi sang anak untuk memasuki lingkungan yang lebih luas, menempuh pendidikan formal di sekolah. Dengan demikian, pendidikan sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri, namun pendidikan terus dikembangkan tanpa batas.

Majunya pendidikan suatu bangsa akan melahirkan manusia berkualitas yang mampu menciptakan kebudayaan bernilai tinggi atau kita kenal dengan peradaban. Dalam sejarah, kita mengenal adanya Peradaban Yunani, Peradaban Romawi, Peradaban Cina, Peradaban Babilonia, dan yang lainnya. Akan tetapi, tidak semua daerah itu kita sebut peradaban. Setiap daerah memiliki kebudayaan, tetapi tidak semua daerah dapat menjadikan kebudayaannya itu sebagai peradaban. Daerah-daerah yang disebut dengan peradaban awal memiliki keunggulan dalam kebudayaannya. Yunani dengan filsafat, Romawi dengan militernya, Cina dengan perdagangannya, Babilonia dengan Hukum Hamurabi. Bagaimanakah mereka mencapai peradabannya itu? Jawabannya adalah pendidikan yang maju dan berkualitas. Dan dalam pendidikan itu terdapat filosofi pendidikan yang harus kita pegang teguh dan aplikasikan.

Pendidikan yang berkualitas bukan hanya ditentukan dengan penggunaan teknologi saja. Sejak awal filsafat telah memakannya pentingnya menjadi manusia seutuhnya. Menjadi manusia yang manusiawi. Bukan menjadi homo homini lupus. Filsafat telah menunjukkan karakter adalah kunci utama kesuksesan suatu bangsa. Karakter akan membentuk manusia unggul yang mampu beradaptasi dan bersaing sehat dalam kondisi apapun. Finlandia sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia telah menunjukkan bagaimana pendidikan maju yang mereka ciptakan dibangun dari hasil pembentukan karakter manusianya terlebih dahulu. Diceritakan betapa orang-orang Finlandia sangat takut untuk melanggar setiap aturan yang telah ditetapkan dimanapun berada. Apakah karena sanksi yang begitu berat? Bukan, tetapi mereka takut jika sikap mereka melanggar aturan itu akan dicontoh oleh generasi berikutnya. Suatu sikap yang luar biasa karena dibutuhkan kesadaran dan kejujuran individunya. Dengan demikian, mereka secara turun temurun menunjukkan karakter baik yang kemudian dicontoh oleh generasi berikutnya.  Nah, jika masyarakat biasa saja sudah berpikir demikian, apalagi sebagai guru yang berkecimpung langsung di dunia pendidikan ya? Budayakan rasa malu ketika kita meminta anak untuk tidak terlambat, tetapi kita sendiri terlambat. Ketika kita meminta mereka tepat waktu mengerjakan tugas, tetapi kita sendiri telat mengumpulkan perangkat mengajar kita, malu ketika kita melarang anak merokok, tetapi ternyata kita sendiri merokok diam-diam di pojok sekolah.

Nah..... jadilah ngalor ngidul jawaban semua soal UTS Filsafat ini 🤣 Pada saat detik-detik terakhir mengumpulkan saya pun teringat candaan teman pada malam sebelum ujian.... Yang penting ada tulisannya di kertas, Bu..... Filosofi salah yang menenangkan dan semoga tidak dicontoh oleh anak-anakku di sekolah.... Seperti filosofi kopi, semanis apapun tetap saja kopi itu pahit.... Secinta-cintanya dengan filsafat, tetap saja sulit 🤭

Revolusi Industri 4.0 Versus Sosial 5.0, Mampukah Kita Menghadapinya?

Rasanya baru kemaren kita mendengar Revolusi Industri 4.0 didengungkan. Sekarang, kita sudah harus berhadapan dengan Society 5.0 yang dicetuskan pertama kali oleh Jepang. Apa sih bedanya Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0? Dan apa pengaruhnya untuk kita, sampai kemudian muncul tantangan untuk bersiap dalam menghadapinya?

Revolusi Industri 4.0 mengacu pada tahapan perkembangan industri yang dimulai sejak ditemukannya mesin uap oleh James Watt dan mendorong munculnya Revolusi Industri dan menjadi titik awal Revolusi Industri 1.0. Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat mendorong penemuan listrik yang menggantikan tenaga mesin uap dan membawa kita pada Revolusi Industri 2.0. Pabrik-pabrik menggunakan listrik untuk menggerakan mesin-mesin mereka. Selanjutnya, kita memasuki Revolusi Industri 3.0 yang mengganti tenaga manusia dengan tenaga robot. Bisa dibayangkan ratusan juta tenaga manusia tergantikan oleh mesin-mesin robot yang bisa bekerja lebih cepat. Produksi industri pun berkembang pesat. Kini, kita telah memasuki era Revolusi Industri 4.0 dimana teknologi digital menjadi sangat penting dalam kegiatan industri dan kehidupan sehari-hari manusia. Dengan teknologi digital, bisa saja sebuah perusahaan tidak lagi memerlukan pabrik ataupun kantor sebagai tempat berinteraksi. Internet menjadi penyambung dan penyimpan data yang luar biasa. Kita cukup membeli satu komputer canggih yang akan melakukan pekerjaan kita, bahkan tanpa perlu bertatap  muka. Inilah kelebihan dari Revolusi Industri 4.0 yang mengedepankan teknologi digital sebagai kunci utama kesuksesannya.

Bagaimana dengan Society 5.0? Nah, perbedaan mendasar Revolusi Industri dan Society ini terletak pada subjek utamanya. Revolusi Industri mengutamakan pekerjaan berbasis teknologi, sedangkan Society 5.0 mengutamakan manusia sebagai subjek utamanya.

Society 5.0 merupakan tahap lanjutan dari revolusi sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia sejak masa praaksara. Ketika awal manusia masih berburu dan meramu merupakan tahap Society 1.0. Kemudian berlanjut dengan tahap Society 2.0 ketika manusia sudah mulai bercocok tanam. Di saat industri berkembang pesat maka kita pun memasuki tahap Society 3.0. Dan bersamaan dengan Revolusi Industri 4.0 maka kita pun memasuki Society 4.0 yang mengutamakan penggunaan teknologi komputer. Akan tetapi, ketika Revolusi Industri 4.0 berhenti maka Society terus berkembang dengan mengintegrasikan kemampuan manusia menggunakan teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari. Mengintegrasikan artinya menyatukan penggunakan teknlogi digital ini dalam kehidupan sehari-hari.

Pernah dengar ketika kamu lupa menutup pintu rumah, kamu tidak perlu khawatir dan buru-buru kembali ke rumah untuk mengecek dan menutup pintu rumah. Kamu cukup menggunakan teknologi digital, internet yang sudah terintegrasi di rumah untuk mematikannya. Luar biasa bukan? Ini lebih dari sekadar memasang CCTV di dalam rumah kamu. Teknologi IOT benar-benar sudah melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita tinggal memainkan jari kita untuk menentukan hidup kita dimana pun berada.

Mustahilkah? Tidak! Jepang sebagai negara yang pertama kali mencetuskan Society 5.0 telah mencoba mengintegrasikan teknologi digital ini dalam kehidupan sehari-hari. Pernah dengar bagaimana Jepang membuat robot sebagai pengganti asisten rumah tangga atau bahkan sekadar teman bercakap-cakap? Luar biasa bukan? Kini Jepang kembali berinovasi dengan lebih mendekatkan penggunaan teknologi tersebut, menghapus batas antara teknologi dan manusia dengan tetap mengedepankan manusia sebagai kontrol utamanya. Society 5.0 mencoba untuk mempermudah kehidupan manusia dengan penggunaan teknologi tersebut, seperti AI, IOT, drone, dan segala hal yang berkaitan dengan teknologi.



Duh, ga takut kalo nanti bakal jadi macam Terminator, Matrik, atau Star Wars nih dunia kita? Ketika manusia justru diperbudak oleh teknologi. Robot-robot cerdas berkuasa dan manusia menjadi budaknya. Nah, film-film seperti itu seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita. Jangan hanya sekadar menonton. Penggunaan teknologi yang tidak bertanggung jawab mungkin saja akan membawa malapetaka bagi manusia yang menciptakannya atau bahkan umat manusia. Oleh karena itu, sekali lagi nih.... pentingnya pendidikan karakter yang akan membentuk pribadi manusia yang manusiawi supaya mampu bertanggung jawab untuk setiap perbuatannya.

Jika Society mengedepankan manusia sebagai subjek yang akan mengontrol teknologi ciptaannya. Sekalipun sampai pada tahap 5.0, Society tetap meletakan manusia sebagai aktor utama. Hal berbeda dengan Revolusi Industri yang justru meletakan teknologi sebagai aktor utamanya. Nah, kamu pilih yang mana nih? Jadi bagian Revolusi Industry 4.0 atau Society 5.0?

Jangan lupa loh, yang namanya teknologi itu dari jaman eh jamannya dulu selalu menuntut penggunaan yang bertanggung jawab dari manusia sebagai penciptanya. Masih ingat bagaimana Einstein menangis ketika rumus energinya digunakan sebagai dasar pembuatan bom atom yang akhirnya digunakan untuk mengakhiri Perang Dunia II? Atau coba saja tengok bagaimana perkembangan teknologi pada masa Perang Dingin berlomba-lomba tetapi pada akhirnya mereka juga yang menciptakan perjanjian-perjanjian pembatasan senjata dalam SALT? Artinya.... dalam diri manusia yang menciptakan teknologi senjata itu pun ada kekhawatiran akan penggunaan teknologi senjata mereka yang bisa saja merugikan umat manusia, termasuk mereka sendiri.

Jadi kesimpulannya? Secanggih apapun teknologi yang diciptakan, tetap saja semua akan bergantung pada karakter manusia yang mencipta dan menggunakannya. Ilmu boleh saja tinggi, tetapi moral manusia harus tetap dijaga. Jadilah manusia yang sesungguhnya....


Kamis, 14 November 2019

JOKER VERSUS HARLEY QUIN, SEPASANG KEKASIH BERBEDA PILIHAN

Industri perfilman Indonesia menjadi ramai ketika film Joker berhasil tayang tanpa gunting sensor sedetik pun oleh Lembaga Sensor Indonesia. Jauh sebelum filmnya masih proses produksi, beberapa komentar sudah meluncur deras. Rata-rata karena pengaruh negatif yang ditimbulkannya secara sadar ataupun tidak sadar. Slogan-slogan ala Joker bermunculan dan yang paling hebat adalah kalimat .... Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti.... Hal ini menjadi semacam pembenaran dari semua sikap joker yang jahat dan pengaruhnya luar biasa.....  Orang-orang justru menaruh simpati terhadap Joker karena teraniaya dan memaklumi sikap jahatnya. Orang-orang cenderung membela Joker yang menjadi jahat karena perlakuan orang-orang di sekelilingnya. Ibunya yang berbohong, teman kerjanya yang berkhianat, orang-orang di sekitarnya yang mencemooh dan tidak bisa menerima kelainan dirinya yang mengidap penyakit langka, yaitu dalam keadaan tertekan Joker akan tertawa.



Bagaimana dengan Harley Queen? Harley Queen adalah psikolog yang menangani Joker selama masa tahanan. Alih-alih mengobati pasiennya, Harley Queen justru jatuh cinta pada Joker hingga rela melakukan apa saja untuk kekasihnya itu. Termasuk ketika harus mengorbankan dirinya dalam cairan kimia ketika dipinta oleh kekasihnya, Joker. Harley Queen selamat, namun penampilannya berubah. Kulit dan rambutnya menjadi putih seperti susu. Tingkah lakunya pun seperti Joker. Penuh kegilaan dan sulit dimengerti. Satu-satunya yang diingatnya hanyalah kekasihnya, Joker yang dijulukinya My Puddin....

Keduanya berhasil ditangkap setelah berbagai aksi gila yang dilakukannya. Namun diperjalanan, mereka mengalami peristiwa yang mengharuskan pilihan itu dibuat. Joker berhasil kabur dan tetap dengan kegilaannya untuk mengacaukan Kota Gotham. Harley Queen dibebaskan dengan catatan masuk ke dalam Suicide Squad. Suatu tim khusus yang dibentuk untuk mengatasi kasus kelas tinggi, menyelamatkan Kota Gotham. Tim ini terdiri dari penjahat-penjahat kelas kakap Kota Gotham. Ide gila yang kemudian membuahkan hasil terbaik. 

Penjahat-penjahat dalam Suicide Squad tak punya banyak pilihan karena di leher mereka tertanam bom. Jika mereka macam-macam maka bom itu akan diledakkan. Awalnya memang saling curiga dan curang di antara mereka. Namun kebersamaan seakan mendekatkan mereka satu sama lain. Uniknya, bagaimana pergolakan seorang Harley Queen ketika harus memilih untuk tetap bergabung dalam Suicide Squad menyelamatkan Kota Gotham atau bergabung dengan kekasihnya, Joker mengacaukan Kota Gotham.

Dan disinilah perbedaan keduanya.... Seorang psikopat seperti Harley Queen pun dapat memutuskan untuk melanjutkan perannya ketimbang bersama kekashnya. Sekalipun pada akhirnya memang hubungan antara Joker dan Harley Queen berakhir. Dua psikopat gila ini memilih jalur yang berbeda untuk masa depan mereka sendiri.

Ironisnya, kita tidak melihat point penting bahwa hidup ini adalah pilihan dan kitalah yang membuat pilihan itu. Sesuatu yang bernama TAKDIR itu tidak hanya satu saja.... Tapi Tuhan telah memberikan banyak pilihan takdir kepada kita. Dan kita tidak bisa sekadar berkata.... sudah takdir... Ini adalah ucapan mereka yang mencari pembelaan diri.

Pilihan-pilihan hidup yang kita buat adalah tanggung jawab kita sendiri. Termasuk pilihan untuk menjadi baik atau jahat. Orang lain boleh saja mempengaruhimu tapi toh yang menentukan adalah diri kita sendiri. dibully atau tidak bully, terluka atau tidak terluka, tersakiti atau tidak tersakiti....




Selasa, 05 November 2019

Ketika Wahyu Menaungi Segalanya


Dalam suatu percakapan, mengulik kalimat antara ilmu pengetahuan dengan agama tidak bisa disatukan. Filsafat sebagai salah satu cabang ilmu, menjadi salah satu yang seakan menentang keberadaan agama dalam setiap pembahasannya, sampai kemudian muncul zona anti Tuhan dalam diskusi-diskusi filsafat.

Saya ingat ketika kecil, sesekali mempertanyakan kenapa ada manusia, kenapa manusia seperti ini, kenapa begini kenapa begitu. Dan jawaban paling sering yang saya dengar dari orangtua saya adalah..... Jangan suka bertanya ciptaan Allah, nanti jadi musyrik. Ciptaan Allah sempurna ga perlu dipertanyakan. Bertahun-tahun menelan jawaban seperti itu ternyata tidak membuat berhenti juga.

Suatu ketika, muncul pertanyaan manakah yang lebih dulu? Manusia praaksara ataukah Nabi Adam as. Dalam majalah anak-anak Bobo, kembali dijawab untuk tidak menyatukan persoalan agama dan ilmu pengetahuan. Saya menyimpan semua pertanyaan dan jawaban itu hingga menjadi guru.

Ketika mengajar sejarah di kelas X, pertanyaan yang sama kembali berulang. Hampir setiap tahun, pertanyaan itu akan muncul dari siswa. Apakah saya memberikan jawaban yang sama? Bahwa tidak boleh menyatukan persoalan agama dengan ilmu pengetahuan? Di awal saya masih mencoba memaklumi jawaban itu, tetapi kemudian muncul perasaan menolak. Jika agama itu sempurna, maka tidak mungkin ada yang tidak bisa dijelaskan oleh agama. Mungkin kita saja yang tidak tahu ataupun kurang memahami karena terkadang kita mempelajari agama di permukaan. Kita tidak menjelajahi tafsir, sunah, dan hadist. 

Dalam satu kesempatan, dijelaskan tentang penyerbukan dalam Alquran, surat Al-Hijr ayat 22, Allah berfirman "Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)...". Jika satu peristiwa demikian bisa dijelaskan maka pastinya peristiwa yang lainnya pun pasti ada penjelasannya. Maka mulailah pencarian jawaban tentang manusia praaksara dan Nabi Adam as. Hasilnya? Luar biasa....

Dalam Alquran terdapat beberapa surat yang menjelaskan tentang keberadaan manusia praaksara dan Nabi Adam as. Sebutlah dalam surat Al Baqarah ayat 30, As Yusuf ayat 31, Al Imran ayat 47, Al Insan ayat 71-72. Begitu juga tentang permukaan bumi yang bulat telah dijelaskan dalam surat Az Zumar ayat 5, Al Hijr ayat 19, Al Ghasiyah ayat 20, dan A Syam ayat 1-2 tentang pergantian siang malam. Dalam surat Perjanjian Kejadian 1 ayat ke 27 tentang penciptaan manusia dari debu dan tanah serta ayat ke 24 dijelaskan tentang penciptaan bumi yang terbagi dalam 6 masa. Jika demikian banyak ayat dalam kitab suci, masihkah dikatakan agama tidak bisa disatukan dengan ilmu pengetahuan?



Saya berpendapat justru agama adalah payung dari segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia, baik ilmu pengetahuan alam ataupun ilmu pengetahuan sosial. Lebih tegasnya lagi, agama adalah sumber dari segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini. Tidak ada satupun permasalahan yang tidak dapat dijelaskan oleh agama. Lantas mengapa dikatakan antara agama dan ilmu pengetahuan tidak dapat disatukan?

Salah satu jawabannya adalah KERAGUAN yang muncul dalam diri kita sendiri. Ketika kita mempertanyakan, tetapi kemudian kita meragukan bahwa jawaban itu ada pada agama maka disitulah kesalahan utamanya. Sebaliknya, jika sejak awal kita meyakini agama adalah sumber utama ilmu pengetahuan di dunia maka kita akan dapat menemukan jawaban dari setiap permasalahan yang ada, tentu saja ada yang menggunakan bantuan ilmu pengetahuan tersebut, ada juga yang langsung terjawab dalam kitab suci agama. 

Manusia selalu memiliki rasa ingin tahu tentang segala hal. Naluri alamiah yang kemudian menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan. Semakin tinggi ilmu pengetahuan, tidak menjadikan ilmu pengetahuan itu sebagai dewa. Agama tetap merupakan sumber pengetahuan yang memiliki semua jawaban permasalahan di dunia. Jika kita sulit atau tidak menemukan jawabannya dalam kitab suci, haruslah kita sadari bahasa dalam kitab suci adalah bahasa wahyu yang memiliki keindahan kalimat. Tidak secara eksplisit disebutkan namun ada juga yang langsung terjawab. Jikapun tidak terjawab langsung, bukanlah berarti tidak ada. Karena mempelajari agama haruslah bersifat holistik, menyeluruh. Ada tafsir, hadist, dan sunah yang memperjelas apa yang mungkin tidak dijelaskan secara rinci dalam kitab suci. 

Dengan demikian, kunci utamanya adalah keyakinan dalam diri manusia itu sendiri terhadap agama sebagai sumber segala ilmu pengetahuan di dunia. Keragu-raguan hanya akan membawa manusia masuk ke dalam zona anti Tuhan yang mereka ciptakan sendiri. Dan bukanlah ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Baqarah ayat 2? Bertakwalah maka tidak akan ada keraguan dan selalu ada petunjuk bagi mereka....


ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ

żālikal-kitābu lā raiba fīh, hudal lil-muttaqīn

Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa







Senin, 04 November 2019

Politik dan Agama, Belajar dari Kisah Masa Lalu untuk Kebaikan Masa Kini

Dalam salah satu pertemuan di kelas, seorang siswa bertanya kepada saya.... Mengapa Raja Mulawarman mempersembahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana? Pertanyaan sederhana namun sarat makna. Bukan hanya 1 atau 2 anak saja. Akan tetapi di beberapa kelas pun saya menemukan siswa yang mengajukan pertanyaan.

Dalam pandangan saya, bagaimana seorang raja perkasa Mulawarman menunjukkan rasa hormatnya terhadap kaum Brahmana melalui persembahan itu bukan hanya sekadar dilandasi keberadaan kasta Brahmana yang berada di atas kastra dirinya, sebagai kasta Ksatria yang menempati urutan kedua. Kaum Brahmana dihormati seperti layaknya seorang pemuka agama pada masa tersebut. Raja Mulawarman tidak memandang dirinya sebagai orang nomor satu di kerajaan Kutai yang memiliki kekuasaan tanpa batas. Persembahan yang tercatat dalam peninggalan kerajaan yupa berupa 7 yupa menunjukkan hubungan yang harmonis antara Raja Mulawarnan dengan kaum Brahmana.

Bandingkanlah dengan Raja Kertajaya dari kerajaan Kediri yang memilih untuk bersikap keras terhadap kaum Brahmana. Sikap memerangi Raja Kertajaya seolah melupakan siapa mereka dalam kedudukan kasta. Bukan hanya sebagai kasta tertinggi, melainkan juga sebagai pemuka agama. Kertajaya begitu angkuh menginginkan kekuasaan mutlak sehingga keberadaan kaum brahmana dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaannya. Rakyat tentu akan memilih untuk patuh kepada kaum Brahmana ketimbang dirinya jika harus dibandingkan. Padahal, Kertajaya sudah mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa yang harus disembah oleh kaum Brahmana dan pendeta Buddha.

Kedua sikap yang dicontohkan oleh raja-raja kerajaan Hindu tersebut seakan menunjukkan bahwa konflik agama dan politik sebenarnya sudah berlangsung lama. Kita melihat bagaimana kedua raja mengambil sikap yang berbeda. Raja Mulawarman menjadikan kaum Brahmana sebagai bagian dari pemerintahannya dan tak segan memberikan persembahan-persembahan. Mendapatkan dukungan kaum Brahmana sama saja artinya dengan memperoleh dukungan rakyat dan itu tentu saja akan semakin memperkuat kedudukannya.

Sebaliknya dengan Kertajaya yang sudah terkalahkan oleh nafsu kekuasaannya. Kertajaya sebagai Dandang Gendis justru menginginkan kekuasaan mutlak dengan menuntut Brahmana dan pendeta Buddha pun turut menyembahnya. Sikap otoriter ini menjadikan Kertajaya kehilangan pengikutnya sendiri dan memicu munculnya pemberontakan terhadap dirinya.

Ken Arok adalah tokoh yang memanfaatkan konflik agama dan politik Kertajaya dengan kaum Brahmana. Menggunakan alasan agama, Ken Arok mendukung gerakan kaum Brahmana untuk melawan Kertajaya yang sudah bersikap otoriter. Kemenangan dengan mudah diraih Ken Arok. Kediri pun jatuh di bawah kekuasaan Tumapel. Kertajaya, kaum Brahmana, dan rakyat sendiri pun tak sadar sudah dipermainkan oleh Ken Arok yang menggoyang isu agama dan politik tersebut.



Belajar dari peristiwa sejarah masa lalu ini, kita dapat melihat persoalan agama dan politik ternyata sangat rentan sekali. Namun demikian, keduanya sebenarnya dapat berjalan harmonis tanpa perlu dikutak katik kembali. Agama Hindu yang sudah menempatkan kaum Brahmana sebagai kasta tertinggi menunjukkan pengakuan mereka bahwa keduduka agama berada di puncak. Menaungi hal-hal lain yang ada dibawahnya. Sementara di kerajaan-kerajaan Islam, kedudukan para wali pun sebagai penasehat raja, panglima perang yang tidak pernah dipersoalkan. Para penjelajah samudera menempatkan prinsip 3 G, Gold Glory Gospel secara bersamaan. Bukankah ini semua sudah cukup menjadi bukti bahwa agama dan politik sebeneranya sudah sejak lama berjalan berdampingan?

Dari peristiwa masa lampau juga kita mengetahui yang menjadi persoalan bukanlah agama dan politik itu sendiri, melainkan nafsu manusia yang tak pernah habis. Haus kekuasaan yang menyebabkan munculnya gesekan-gesekan dengan kedua bidang tersebut. Maka sangatlah tidak mengherankan jika dalam sinema Wonder Woman digambarkan Dewa Ares yang menggoda manusia untuk berperang. Memunculkan ego dan nafsu manusia untuk berkuasa mutlak di dunia. Kemampuan manusia untuk menahan diri dari nafsu inilah yang menjadi penting dalam kehidupan di dunia.

Nah, apakah kita masih akan mempersoalkan agama dan politik? Jika sudah begitu banyak contoh peristiwa masa lalu yang menunjukkan bahwa agama dan politik sebenarnya dapat berjalan harmonis, tetapi nafsu manusialah yang merusak pandangan tersebut. Belajar sejarah bukanlah hanya sekadar untuk mengetahui peristiwa masa lalu, tetapi yang terpenting adalah makna dan pesan moral, nilai-nilai pembelajaran yang dapat kita peroleh dan jadikan pelajaran di masa kini. Sudahkah kamu melakukannya?







SaKaSaKu (Satu Kelas Satu Buku), Aksi Nyata Meningkatkan Budaya Literasi Siswa dengan Merdeka Belajar

 Salam Guru Penggerak! Tak terasa modul 3.3 dari Program Pendidikan Guru Penggerak sudah hampir selesai dipelajari. Tersisa dua penugasan la...